About

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Friday, September 30, 2022

Perang Etruska: Takluknya Peradaban Kuno Etruria ke Tangan Romawi


Sejarah paling sering ditulis oleh para pemenang, Etruria ditaklukkan dan berasimilasi dengan kekaisaran Romawi yang berkembang pesat di Eropa. Begitulah sejarawan kuno menulis tentang sejarahnya.

Etruria tak lebih dikenal dari kesohoran Romawi yang ditulis berjilid-jilik oleh banyak sejarawan, mulai dari sejarawan kuno hingga sejarawan kontemporer. Alasannya, karena Romawi adalah pemenang dari pertempuran.

"Tanpa teks tertulis yang luas dari mereka sendiri, sejarah Etruria harus disatukan dari sedikit sisa budaya mereka," tulis Mark Cartwright kepada World History.

Mark Cartwright menulis dalam artikelnya yang berjudul Etruscan Warfare yang dipublikasikan pada 15 Februari 2017.

Beberapa peninggalannya yaitu, reruntuhan tembok benteng, senjata, baju besi, dan karya seni yang menggambarkan tema yang berhubungan dengan peperangan, dan catatan bekas penulis kuno.

Pemerintah awal kota-kota Etruria didasarkan pada monarki, tetapi kemudian berkembang menjadi pemerintahan oligarki yang mengawasi dan mendominasi semua posisi publik dan majelis warga.

"Tentara Etruska (julukan orang-orang Etruria), seperti kebanyakan kekuatan tempur Mediterania saat itu, diambil dari badan warga yang sebaliknya adalah petani saat tidak berperang," ungkap Cartwright.

Tentara membayar peralatan mereka sendiri dan berjuang untuk Etruria dalam melindungi hak dan kepentingan mereka sendiri, baik untuk mempertahankan wilayah mereka atau memperluasnya, bisa juga untuk mengontrol rute perdagangan di darat dan laut, dan untuk memperoleh sumber daya yang mereka anggap perlu.

Armor terbuat dari perunggu dan berbentuk pelindung dada, pelindung kaki untuk melindungi kaki bagian bawah, helm, dan perisai bundar, seperti hoplite (seperti kulit yang dikeraskan juga banyak digunakan sebagai pelindung tubuh) dalam peperangan Yunani.

Hoplite umumnya lebih ringan dan lebih efektif daripada perunggu, bahan yang mudah rusak seperti itu tidak akan bertahan seperti yang telah dilakukan oleh baju besi perunggu.

Senjata utama adalah tombak perunggu dan pedang bermata dua. Prasasti dari Vetulonia menggambarkan seorang pejuang Etruria yang membawa kapak ganda, tetapi ini mungkin merupakan simbol otoritas daripada senjata.

"Namun, penting untuk dicatat di sini bahwa beberapa senjata ini, dan helm khususnya, mungkin hanya memiliki tujuan ritual simbolis dan mungkin tidak benar-benar digunakan dalam pertempuran," tegasnya.

Banyak kota Etruria dilindungi oleh tembok kota. Tidak selalu menutup seluruh kota, mereka melindunginya dari serangan di titik-titik terlemahnya.

Bagian dari dinding benteng bertahan di Cerveteri, Tarquinia, Veii, Vulci, dan kota lainnya, terbuat dari batu bata lumpur di atas alas batu atau seluruhnya dari balok tufa, sebagian besar berasal dari abad ke-5 SM.

"Tembok itu bisa bertahan dari serangan berkepanjangan dibuktikan dengan pengepungan Romawi selama 10 tahun di Veii antara tahun 406 dan 396 SM," lanjutnya.

Tentara Etruria yang terdiri dari tentara paruh waktu, mungkin direkrut berdasarkan kekerabatan atau keanggotaan klan, terbukti bukan tandingan tentara Romawi.

Tentara Romawi lebih profesional dan dinamis secara taktis yang mampu memanfaatkan sumber daya yang lebih besar, baik laki-laki maupun peralatan.

Pada tahun 281-280 SM, kemenangan bagi tentara Romawi melawan orang-orang seperti Tarquinia, Orvieto, dan Vulci. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar Etruria akhirnya jatuh di bawah kendali Romawi.

Melalui campuran diplomasi, aliansi, gencatan senjata yang berkepanjangan, dan kekuatan militer, Romawi telah memantapkan diri mereka sebagai penguasa Italia.




 

Momus, Dewa Ironi dan Sarkasme yang Diusir dari Olimpus oleh Zeus


Menurut Theogony oleh Hesiod, Momus pada awalnya adalah penasihat para dewa Olimpus. Namun karena kritik yang berlebihan, tidak menyenangkan, dan terus-menerus terhadap para dewa, ia akhirnya dibuang ke bumi.

Momus menjadi “orang jahat” di antara dewa-dewa kecil Olimpus. “Maka tidak heran jika ia lebih tidak disukai oleh mereka daripada dewa Yunani lainnya,” ungkap A. Sutherland dilansir dari laman Ancient Pages.

Panteon Yunani sangat beragam. Masing-masing dewa memiliki rentang aktivitas, atribut, dan kelemahan yang berbeda. Dewa-dewa Yunani berbeda dari dewa-dewa agama monoteistik besar—dewa Momus menampilkan banyak karakteristik yang mirip dengan manusia.

Salah satu penulis drama klasik paling terkenal di Athena, Sophocles menulis sebuah drama satir yang ditujukan untuk Momus, putra Nyx. Ia menggambarkan Momus sebagai dewa lelucon dan ejekan yang suka mengkritik dan mengolok-olok orang lain. “Pendapatnya diungkapkan dengan sarkasme pahit,” tambah Sutherland.

Momus, dewa kritik, tidak pernah disambut sebagai pendamping para dewa di Gunung Olimpus. Tetapi karena dia adalah salah satu dari para dewa, maka kelakuan Momus pun ditoleransi.

Ironi dan kritiknya yang tidak pantas sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang ganas. Kadang-kadang, dia mengalami kesulitan menemukan sesuatu yang salah dalam tindakan para dewa dan manusia, tetapi dia selalu mencoba. Juga, sikapnya terhadap kemanusiaan tidak sepenuhnya benar dan tentu saja tidak ramah.

Faktanya, Momus tidak menyukai manusia dan ingin melihat populasi bumi berkurang. Dia sering membuat upaya yang berhasil untuk menemukan beberapa kekurangan atau kelemahan dalam segala hal.

Sutherland menyebutkan bahwa kadang-kadang, Momus muncul dan menuduh dewa melarikan diri dengan suatu kejahatan. Dia tidak terlalu terkesan ketika Prometheus 'Pembawa Api' mencuri api dari para dewa dan menciptakan manusia pertama. Sang dewa yang tidak disukai ini merasa bukan dirinya sendiri jika tidak mengkritik karya ilahi Prometheus.

Athena pun tidak luput dari kritikan Momus. Kali itu, Momus menghina usaha Athena untuk pembangunan rumah manusia. Momus menunjukkan bahwa rumah itu tidak memiliki sarana penggerak yang diperlukan. Momus menyarankan bahwa ciptaannya untuk manusia harus memiliki roda. Sehingga seseorang dapat dengan bebas berpindah dari satu tempat ke tempat lain jika perlu.

Afrodit sang dewi kecantikan menolak kritikan Momus atas Athena. Momus tidak dapat menemukan kesalahan atas kekecewaannya yang besar dengan bentuk sempurnanya. Sehingga dia menuduhnya terlalu banyak bicara dan mengenakan sandal yang aneh dan berderit.

Dalam "Lucian and the Latins: Humor and Humanism in the Early Renaissance", David Marsh menulis bahwa di perjamuan Momus mengutuk para filsuf, pendeta, dan cendekiawan sebagai ateis.

Terlepas dari protes Hercules dan Juno, dewa Jupiter menerima proposal Momus untuk menghancurkan dunia dan merencanakan penciptaan baru.

Para dewa mengunjungi bumi untuk berkonsultasi dengan para filsuf manusia. Mereka menyatakan Socrates satu-satunya orang yang benar-benar bijaksana. “Kembali ke Olimpus, para dewa berkumpul tetapi segera jatuh ke pertengkaran,” tulis Marsh.

Ketika Juno menghina Momus, dia mengusulkan undang-undang untuk mengecualikan semua dewa wanita dari majelis. Para dewi yang marah menyerang Momus dan mengebirinya. Sementara itu, orang-orang di bumi, yang takut akan bencana baru, berusaha menyesuaikan diri dengan dewa-dewa. Manusia mempersembahkan kuil dan patung baru untuk para dewa agar mereka tidak murka.

Ini membuat para dewa senang dan memuji umat manusia. Marsh menuturkan, “Para dewa itu pun berbalik mencela Momus yang cacat, yang dibuang oleh Jupiter untuk dirantai di tebing laut."

Bagaimana cara manusia zaman dulu menggambarkan dewa ini tidak diketahui hingga kini. Momus sering digambarkan sebagai badut raja dalam seni modern, dengan topi dan lonceng bodoh.

Momus dianggap sebagai sosok ilahi yang relatif anonym. Ia adalah putra Nyx, personifikasi malam, yang juga ibu dari Hypnos (Tidur) dan Thanatos (Kematian), dengan Erebus (Kegelapan). Menurut Hesiod, Momus tidak memiliki ayah, tetapi saudara kembarnya, Oizys, dewi depresi dan kesengsaraan.

Momus membuat para dewa gila dengan ketidaksetujuan abadinya terhadap segala hal. Terakhir, ia menyebut Zeus sebagai maniak seks dan dewa yang kejam. Sudah cukup bersabar, Zeus akhirnya menendang Momus keluar dari Olimpus.

Orang Yunani memiliki banyak dewa yang mempersonifikasikan kehidupan dan alam. Seperti makhluk fana, para dewa, setengah dewa, dan pahlawan mitologis. Mereka menunjukkan sifat-sifat negatif seperti manusia, emosi, dan sikap permusuhan.

“Perilaku dewa berkontribusi pada banyak legenda dan mitos yang menarik. Ini menjadikan mitologi Yunani sebagai warisan penting dari budaya kuno ini,” imbuh Sutherland.

Tuesday, September 27, 2022

Zimba di Afrika: Memakan dan Menjual Daging Manusia di Pasar


Sebuah tulisan berjudul Ethiopia Oriental (1995) karya João dos Santos diterbitkan pada tahun 1609, berdasarkan tempat tinggalnya selama sebelas tahun (1586–1597) di Afrika, Ethiopia.

Pada saat itu, 'Ethiopia' adalah istilah geografis yang lebih umum untuk benua tersebut—digunakan untuk menyebut seluruh daratan Afrika dengan menjadikan judul tersebut sebagai referensi ke seluruh Afrika Timur.

Dalam beberapa referensi, komunitas Zimba berdiaspora ke beberapa kawasan di Afrika. Basis terbesar mereka terdapat di wilayah Mozambik dan Zimbabwe saat ini. Kisah Zimba juga dituliskan dalam salah satu riset ilmiah.

Eric Allina menulis dalam jurnal Journal of Southern African Studies berjudul "The Zimba, the Portuguese, and other cannibals in late sixteenth-century Southeast Africa" yang terbit pertama kali pada tahun 2011.

Dalam jurnal tersebut, Allina menggambarkan perjalanan João dos Santos yang termaktub dalam kitab gubahannya, tentang sebuah "peristiwa paling menyedihkan yang terjadi saat dia tinggal di Sena."

Sena merupakan sebuah pemukiman Portugis di Lembah Zambesi, yang melibatkan orang-orang yang disebutnya 'Muzimba Kafir'. Suku Muzimba atau yang dikenal dengan Zimba, mempraktikkan kanibalisme.

"Mereka tidak hanya memakan daging lawan mereka yang kalah di medan perang 'tetapi juga tawanan mereka ketika mereka sudah tua dan tidak lagi layak untuk bekerja," imbuhnya.

Tidak berhenti di situ, mereka yang tidak puas dengan memakan daging manusia untuk membuat mereka bertenaga dan lebih kuat dari sebelumnya, mereka juga menjual daging yang tersisa di pasar!

"Orang-orang Zimba menjualnya di pasar, seolah-olah itu adalah daging lembu atau domba dan tanpa ada yang merasa aneh," tambahnya lagi. Yang lebih mengerikan lagi, setelah membunuh tawanan mereka, Zimba meminum darah dari tengkorak lawannya.

Ketika orang-orang Zimba sendiri terluka dalam pertempuran atau jatuh sakit, kawanan Zimba yang lainnya akan membunuh dan memakan mereka. Konon, mereka melakukan itu "agar mereka tidak perlu menanggung tugas untuk menyembuhkan yang sakit," terusnya.

João Dos Santos menulis tentang bagaimana, pada tahun 1592, Zimba menginvasi sebuah komunitas Afrika yang terletak di seberang benteng Portugis di Sena. Selain berperang dengan pemukim di sekitar benteng Portugis dan merebut tanah mereka, Zimba membunuh dan memakan banyak orang.

Pemimpin orang-orang Afrika yang diserang—yang merupakan 'tetangga baik dan teman baik Portugis'—mendekati sang kapten benteng Sena dan memohon 'bantuan untuk mengusir musuh yang menguasainya', orang-orang Zimba. 

Kapten, André de Santiago, menanggapi dengan baik apa yang menurut João dos Santos sebagai 'permintaan saleh' dengan mengumpulkan kekuatan tentara Portugis untuk membantu merebut kembali tanah sekutunya.

Namun, setelah mencapai perkemahan tentara Zimba, mereka menemukan kamp Zimba telah dibarikade dengan aman. Kekuatan benteng memaksa Santiago untuk menilai kembali strateginya, terlepas dari dua buah meriam yang dia bawa dari benteng.

Orang-orang Portugis mendirikan kemah, ia mengirim bala bantuan dari benteng Portugis lainnya di Tete, yang terletak lebih jauh di atas Zambesi. Bala bantuan ini terdiri dari lebih dari 100 tentara Portugis dan Afro-Portugis bersenjata.

Namun, telik sandi Zimba mengetahui kedatangan Portugis yang hendak menyerang. Tentara Zimba meninggalkan bentengnya di bawah perlindungan malam untuk menyergap bala bantuan dalam perjalanan, mereka bergerilya.

Orang Zimba yang mengetahui kedatangan mereka, lantas menyerang mereka secara tiba-tiba dengan kekerasan sedemikian rupa sehingga dalam waktu singkat mereka semua terbunuh.

"Tidak ada yang selamat dalam pengepungan itu," ungkapnya lagi. Setelah membunuh mereka, para Muzimba memotong kaki dan tangan mereka, yang mereka bawa di punggung mereka dengan semua barang bawaan dan senjata yang mereka bawa.

Setelah itu mereka kembali ke benteng mereka. Ketika para pemimpin dan pasukan Afrika mencapai semak-semak dalam upaya menyusul penyerangan, mereka menemukan semua orang Portugis dan kapten mereka tewas secara tragis. Mereka kembali dari tempat itu dan mundur ke Tete. Mereka kemudian menceritakan peristiwa menyedihkan yang telah terjadi.


João dos Santos tak terima dengan kekalahan dan bersiap membangun kekuatan militer yang lebih besar lagi. Alhasil, pertempuran antara Zimba dan Portugis terjadi berlarut-larut.

Bagaimanapun, orang-orang Eropa dengan kemampuan militer dan kesiapan persenjataan tetap mendominasi. Zimba yang sadis itu akhirnya dapat ditaklukan dan hanya menyisakan 100 orang (mereka melarikan diri) dari ratusan ribu komunitas mereka di Afrika.

Semua penggambaran ini dikisahkan secara tragis dan dramatis dalam jurnal gubahan Allina yang bersumber dari Ethiopia Oriental (1995), tentang suatu komunitas bernama Zimba yang memiliki tradisi kanibal dan sadis.

Intip Ritual Buka Mulut pada Mumi yang Akan Dimakamkan Era Mesir Kuno


Setelah meninggal dan sebelum dimakamkan di makamnya, mumi orang yang sudah meninggal harus menjalani upacara yang rumit untuk membantunya mendapatkan kembali akal sehatnya melalui sihir untuk dapat menikmati kehidupan penuh di akhirat.

Hal tersebut dilakukan agar raja yang telah meninggal dapat bertemu dengan para dewa dan menikmati kehidupan abadi. Setelah tujuh puluh hari proses mumifikasi berlangsung, mumi kerajaan ditempatkan di sebuah perahu di kepala armada kecil yang akan membawanya ke Sungai Nil ke tempat peristirahatan terakhirnya. 

Penerus almarhum raja memimpin karavan pemakaman, sementara penduduk negara Nil, rakyatnya, berkeliaran di tepi sungai untuk mengucapkan selamat tinggal kepada firaun mereka.

Firaun baru diharapkan untuk memainkan peran aktif dalam pemakaman pendahulunya karena hanya dengan mengikuti ritual secara ketat ia dapat memastikan legitimasinya sebagai pewaris takhta Dua Negeri.

Setelah turun, peti mati dengan mumi kerajaan ditempatkan pada platform yang ditarik oleh dua lembu untuk dipindahkan ke makam. Namun mendiang firaun tidak akan pergi sendiri. Perjalanan terakhirnya akan disertai dengan prosesi besar yang terdiri dari para pendeta berkepala gundul yang memenuhi lingkungan dengan nyanyian mereka dan aroma dupa.

Prosesi pemakaman ditutup oleh dua wanita yang berpakaian seperti dewi Isis dan Nephthys, dua saudara perempuan Osiris yang berkabung, yang dengan sayap terbentang melindungi almarhum.

Saat arak-arakan tiba di pintu makam kerajaan, seorang pendeta sem (murni), yang mengenakan topeng dengan patung dewa Anubis, meminta izin untuk melakukan penguburan.

Pada saat itu sekelompok penari Muu muncul, melakukan tarian ritual di depan peti mati untuk memastikan bahwa pemakaman dapat dilanjutkan.

Selanjutnya, seorang imam membaca membaca beberapa bagian dari teks pemakaman. Setelah ritual ini selesai, peti mati, dengan mumi di dalamnya diletakkan di depan pintu pemakaman untuk melaksanakan ritus yang paling penting dari semuanya, upacara "pembukaan mulut dan mata".

Ritual Kebangkitan

Upacara pembukaan mulut, sebuah ritual yang dilakukan pada mumi dari setiap orang yang meninggal dengan tujuan meyakinkan dia pemulihan penuh dari semua indranya (bicara, penglihatan dan pendengaran) agar dapat hidup sepenuhnya di akhirat.

Dengan demikian, upacara ini adalah penegasan bahwa kematian bukanlah akhir, tetapi awal dari kehidupan baru yang akan bertahan selamanya. Langkah-langkah yang diikuti oleh para imam yang bertanggung jawab atas ritual ini sangat kompleks dan sarat dengan mistisisme. Pemulihan setiap indera berhubungan dengan dewa yang berbeda yang diwakili oleh seorang pendeta yang mengenakan topeng keilahian.

Misalnya, dewa Ptah, dewa pencipta Memphis, secara simbolis membuka mulut orang yang meninggal agar dia bisa berbicara kembali, dan dewa pemakaman Sokar bertanggung jawab atas pemulihan penglihatan.

Untuk melaksanakan ritual magis, para pendeta biasanya menggunakan elemen yang terbuat dari besi meteorik karena dianggap bahan dari langit ini dikirim oleh para dewa. Di antara instrumen-instrumen ini ada beberapa kapak, tongkat berbentuk ekor ikan yang disebut peseshkef, dan pisau berhias kepala ular yang disebut uerhekau.

Kemudian, para imam menyentuh anggota badan dan organ yang akan dihidupkan kembali. Terutama mata, hidung, telinga dan mulut, sehingga orang yang meninggal itu bisa makan, minum, berbicara, mendengar, mencium dan melihat akhirat.

Dalam Book of the Dead (ringkasan formula pemakaman dimaksudkan untuk memfasilitasi perjalanan ke dunia bawah) ada bagian di mana almarhum mengacu pada ritual:

“Mulutku dibuka oleh Ptah, / ikatan mulutku dilepaskan oleh dewa kotaku. / Thoth telah dilengkapi dengan mantra, / melepaskan ikatan Seth dari mulutku. / Atum telah memberi saya tangan saya, / mereka berdiri sebagai penjaga. / Mulutku diberikan kepadaku, / mulutku dibuka oleh Ptah / dengan pahat logam itu / yang dengannya dia membuka mulut para dewa.”

Makanan dan minuman untuk almarhum

Setelah almarhum sadar, pengorbanan salah satu lembu yang ikut dalam prosesi pemakaman dilakukan. Dibantu paha hewan (yang terkadang tidak nyata, tetapi alat yang berbentuk ini), pendeta sem membuka mata dan mulut mumi empat kali.

Setelah itu, mulut orang mati itu dibuka kembali dengan kapak. Karena almarhum sekarang sudah bisa makan dan minum, dia disuguhi serangkaian makanan dan segelas air.

Kemudian, salinan teks pemakaman ditempatkan di dalam peti mati dan dibawa ke ruang pemakaman. Jika almarhum adalah firaun, peti matinya akan disimpan di dalam sarkofagus batu. Ketika mereka pergi, kelompok yang bertanggung jawab atas semua tugas ini menghapus jejak mereka.

Monday, September 26, 2022

CT Scan Amenhotep I Bebaskan Pendeta Mesir dari Tuduhan Pencurian


Mumi firaun Amenhotep I yang berusia 3.500 tahun hampir tidak pernah diteliti sejak ditemukan di Luxor tahun 1881.

Padahal mumi ini dapat mengungkapkan beberapa detail berharga tentang kehidupannya. Firaun Amenhotep I memerintah kerajaan Mesir yang bersatu sejak tahun 1525 hingga 1504 SM.

Mumi Kerajaan Baru (1550 hingga 1069 SM) adalah mayat kuno yang paling terpelihara dengan baik yang pernah ditemukan. Mumi ini dianggap sebagai kapsul waktu. Mereka dapat memberi tahu tentang seperti apa rupa raja dan ratu kuno, kesehatan, serta penyakit kuno. Juga teknik mumifikasi, dan metode pembuatan objek pemakaman.

Ahli Mesir Kuno selalu enggan menyentuh mumi yang telah diawetkan dengan sangat baik dalam linen berkualitas tinggi. Mumi ini juga ditutupi oleh karangan bunga yang terbuat dari bunga safflower, delphinium, dan rami sungai Mesir. Mumi Amenhotep menggunakan topeng penguburan yang dicat yang mencolok dan indah. Ini bisa saja rusak secara permanen jika linennya dilepas.

Namun berkat perkembangan teknologi pemindaian digital yang canggih, ilmuwan dapat menelitinya tanpa merusak penutup fisiknya.

Pemeriksaan digital menyeluruh dan komprehensif dari tubuh mumi Amenhotep I dilakukan. Ahli Mesir Kuno yang terkenal, Zahi Hawass, bekerja sama dengan Sahar Saleem seorang ahli radiologi dari Universitas Kairo dalam penelitian ini.

Mereka menggunakan teknologi pemindaian tomografi terkomputasi (CT) 3-D untuk mendapatkan citra rinci dari tulang dan jaringan lunak yang diawetkan. Teknologi ini mengeliminasi kebutuhan untuk membuka pembungkus linen mumi untuk melihat apa yang ada di bawahnya.

Analisis ekstensif Saleem mengungkapkan sejumlah besar detail tentang karakteristik fisik Amenhotep I yang belum diketahui sebelumnya.

“Pemindaian menunjukkan bahwa Amenhotep I berusia sekitar 35 tahun ketika dia meninggal,” kata Saleem. Tingginya kira-kira 169 cm, disunat, dan memiliki gigi yang bagus.

Amenhotep I secara fisik mirip dengan ayahnya, Ahmose I, raja pertama Dinasti ke-18 yang memerintah dari 1550 hingga 1292 SM. Sang Firaun memiliki dagu yang sempit, hidung kecil yang sempit, rambut keriting, dan gigi atas yang agak menonjol.

Otak Amenhotep I ditemukan utuh, hal ini tidak dimiliki oleh sebagian besar mumi kerajaan lainnya.

CT scan menunjukkan bahwa Amenhotep I dikuburkan dengan koleksi perhiasan berharga yang menakjubkan. Di bawah bungkus linennya, tubuhnya dihiasi dengan sekitar 30 jimat dan ikat pinggang terbuat dari manik-manik emas.

Fakta terakhir ini penting, karena bertentangan dengan kepercayaan ahli Mesir Kuno tentang sejarah mumi sebelumnya.

Seperti yang diungkapkan oleh hieroglif, pada abad ke-11 SM mumi Amenhotep I dipindahkan dari tempat pemakaman aslinya ke Luxor. Pada saat itu tubuh dibuka dan dibungkus kembali oleh para pendeta. Mereka ditugaskan untuk memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh perampok makam.

Di Luxor, mumi itu dimakamkan bersama mumi raja dan bangsawan yang juga diselamatkan dari perusakan tanpa henti pencuri harta karun.

Ahli Mesir Kuno sebelumnya menduga bahwa para pendeta itu terlibat dalam pencurian harta karun Amenhotep I. Mereka diperkirakan menyembunyikan semua perhiasan sebelum menyelesaikan proses mumifikasi ulang.

Tapi hasil CT scan membersihkan pendeta kuno abad ke-11 dari segala tuduhan pencurian.

“Dalam kasus Amenhotep I, para pendeta dari dinasti ke-21 dengan penuh kasih memperbaiki luka-luka yang ditimbulkan oleh para perampok makam. Mereka mengembalikan mumi ke kejayaannya, dan melestarikan perhiasan dan jimat yang luar biasa di tempatnya,” kata Saleem.

Berkat mereka, mumi Amenhotep terpelihara dengan baik hingga kini sehingga dapat dipindai dan dianalisis oleh Saleem.

Amenhotep I memerintah Kerajaan Baru Mesir selama masa damai dan kemakmuran. Lima abad pemerintahan Kerajaan Baru diakui oleh para sejarawan sebagai salah satu "Zaman Keemasan" Mesir kuno.

Kerajaan itu makmur dan menghadapi beberapa ancaman eksternal atau internal yang serius. Amenhotep I tidak diragukan lagi mendapat manfaat dari keadaan ini. Sangat sedikit informasi tentang penguasa macam apa dia sebenarnya. Meskipun tampaknya ia berhasil mempertahankan struktur yang diciptakan ayahnya selama pemerintahannya.

Meskipun banyak penemuan menarik dari pemindaian, Saleem tidak dapat menemukan persis bagaimana Amenhotep I meninggal.

“Kami tidak dapat menemukan luka atau cacat karena penyakit untuk menentukan penyebab kematian,” jelasnya.

Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa Amenhotep I diracun sampai mati. Bisa jadi ia dibunuh dengan cara yang tidak akan meninggalkan bekas luka atau kerusakan fisik. Kemungkinan lainnya, Amenhotep I bisa saja meninggal karena sebab alami.

Tidak ada cara untuk mengetahui dengan pasti apa yang terjadi kecuali jika ada teks hieroglif yang menjawab misteri itu.

Letusan Gunung Berapi, Pemicu Skotlandia Gabung dengan Britania Raya


Selama tujuh tahun yang mengerikan, terjadi di tahun 1690-an, gagal panen, desa-desa pertanian mulai ditinggalkan, dan kelaparan parah, membunuh hingga 15% dari seluruh penduduk Skotlandia. 

Orang-orang Skotlandia telah menyadari bahwa dampak dari letusan dahsyat gunung tropis disana, merupakan malapetaka yang tertulis dalam Alkitab. Mereka menyebutnya dengan Scottish Ills atau Penyakit Skotlandia.

"Malapetaka Scottish Ills, telah mengantarkan ke era dimana kondisi ekonomi yang melumpuhkan," tulis Sid Perkins kepada Science. Ia menulis dalam artikelnya berjudul How a volcanic eruption helped create modern Scotland, publikasi tahun 2019.

Segera setelah ledakan dan erupsi dahsyat itu, negara yang sebelumnya merdeka, memutuskan bergabung dengan Inggris Raya. Sekarang, para peneliti telah mengkaji, dampak letusan gunung berapi yang berjarak ribuan kilometer jauhnya, mungkin telah memicu transformasi politik ini.

Para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa gunung berapi dapat mengubah iklim bumi. Selama letusan besar, tetesan asam sulfat yang menyebarkan cahaya mencapai stratosfer dan menyebar ke seluruh dunia, memantulkan sebagian radiasi Matahari kembali ke ruang angkasa dan mendinginkan planet ini. 

"Musim dingin seperti itu dapat berlangsung dari beberapa bulan hingga beberapa tahun—dan dapat membantu memicu kekeringan dan gagal panen," tambahnya. Skotlandia telah mengalami masa terburuk dalam sejarahnya.

"Petunjuk untuk peristiwa seperti itu sering terkunci di lingkaran pohon, yang pertumbuhannya melambat dengan perubahan suhu dan curah hujan yang liar dan tak beraturan," lanjut Perkins.

Tetapi sampai saat ini, para peneliti tidak memiliki catatan mengenai bencana besar di Skotlandia utara, di mana dampak terburuk dari kelaparan terjadi disana. Para ilmuwan di Skotandia menyatukan catatan lengkap tentang iklim lokal dari tahun 1200 hingga 2010, untuk dapat membuktikannya.

"Para ilmuwan menggunakan data pencarian dari pohon-pohon dan kayu yang masih hidup yang jatuh ke danau, di mana mereka disimpan selama berabad-abad," ungkapnya.


Rosanne D'Arrigo, ahli paleoklimatologi di Lamont Doherty Earth Observatory di Universitas Columbia di Palisades, New York, Amerika Serikat, turut dalam penelitian. Dengan bersemangat, ia menyelidiki kronik ini bersama rekan-rekannya.

Analisis mereka mengungkapkan bahwa dekade terdingin kedua yang terjadi di Skotlandia dalam 800 tahun terakhir, telah berlangsung dari tahun 1695 hingga 1704.

Suhu musim panas selama periode ini sekitar 1,56°C lebih rendah dari rata-rata musim panas dari tahun 1961 hingga 1990, tim melaporkannya ke dalam Journal of Vulcanology and Geothermal Research.

"Semua ini bertepatan dengan dua letusan gunung berapi besar di daerah tropis di kawasan Skotlandia: satu pada tahun 1693 dan yang kedua (yang lebih besar) terjadi pada tahun 1695," sambung Perkins.

Dua pukulan dari dasar bumi yang melemparkan abu dan debu vulkanik, menutup langit-langit Skotlandia, agaknya berdampak pada pendinginan iklim yang ekstrem dan membunuh.

"Skotlandia menjadi sangat dingin yang memicu kegagalan panen dan kelaparan besar-besaran selama beberapa tahun, tim (peneliti dan ilmuwan) berspekulasi," ujarnya.

Gunung berapi tropis bukanlah satu-satunya kutukan di Skotlandia. Teknik pertanian yang relatif tidak canggih, menjadi masalah lain yang memperburuk kondisi pangan di Skotlandia.

Kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendorong ekspor biji-bijian (yang menyisakan sedikit cadangan ketika panen gagal), dan kegagalan untuk mendirikan koloni Skotlandia di Panama pada tahun 1698, menempatkan negara itu dalam keadaan yang lebih mengerikan.

Masalah-masalah ini, serta depresi ekonomi yang mengikutinya, memotivasi Parlemen Skotlandia untuk mengakhiri kemerdekaannya dan bergabung dengan Inggris Raya, melalui Acts of Union pada tahun 1707.

Sunday, September 25, 2022

Migrasi Manusia Purba Siberia, Menunjukkan Penduduk Asli Amerika


Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia bermigrasi ke benua Amerika Utara melalui Beringia, daratan yang pernah menjembatani laut antara apa yang sekarang disebut Siberia dan Alaska. 

Isu yang masih menjadi teka-teki sampai saat ini adalah siapa sebenarnya manusia yang menyeberang di era prasejarah, dan siapa yang bertahan sebagai nenek moyang penduduk asli Amerika saat ini. "Misteri itu, masih menjadi bahan perdebatan panjang," tulis Craft.

Brian Handwerk Craft menulisnya kepada Smithsonian Magazine dalam artikelnya berjudul Ancient DNA Reveals Complex Story of Human Migration Between Siberia and North America, publikasi 5 Juni 2019.

"Adanya dua studi DNA baru yang bersumber dari fosil langka di kedua sisi Selat Bering membantu menulis kajian baru dalam kisah perjalanan masyarakat prasejarah ini," tambah Craft.

Studi pertama, dilakukan dengan menggali genetika masyarakat Amerika Utara, Paleo-Eskimo (beberapa orang paling awal yang menghuni Arktik) dan keturunan mereka. 

"Penelitian ini berfokus pada populasi yang hidup di masa lalu dan hari ini, di Amerika bagian utara. Hal ini menunjukkan hubungan menarik antara penutur Na-Dene dengan orang pertama yang bermigrasi ke Amerika dan orang Paleo-Eskimo," Ungkap Anne Stone dalam tulisan Craft.

Anne Stone adalah seorang ahli genetika antropologi di Arizona State University yang menilai kedua studi untuk membuktikan kehidupan dan aktivitas yang terjadi di era prasejarah.

Selat Beringia telah terbentuk sekitar 34.000 tahun yang lalu. Pada saat itu, manusia pemburu mamut pertama melintasinya lebih dari 15.000 tahun yang lalu atau mungkin jauh lebih awal dari yang diperkirakan.

Kemudian, migrasi besar-besaran para penduduk terjadi sekitar 5.000 tahun yang lalu, oleh orang-orang yang dikenal sebagai Paleo-Eskimo, tersebar di banyak wilayah di Arktik Amerika hingga Greenland. 

Satuan tim internasional mulai mempelajari sisa-sisa (fosil) 48 manusia purba dari wilayah tersebut, serta 93 suku Iñupiat Alaska dan Siberia Barat yang masih hidup. 

"Mereka tak hanya bertujuan menambah jumlah genom purba yang relatif kecil dari wilayah tersebut, tetapi juga berusaha untuk menggabungkan semua data menjadi satu model populasi," sambung Craft.

Hasil riset yang dilakukan tim diumumkan. Temuannya mengungkap bahwa baik masyarakat kuno dan modern di Arktik Amerika dan Siberia, secara garis besar diwariskan dari gen penduduk Paleo-Eskimo.

"Keturunan dari populasi Paleo-Eskimo tersebar di seluruh wilayah, termasuk penutur bahasa Yup'ik, Inuit, Aleuts dan Na-Dene dari Alaska dan Kanada Utara sampai ke Amerika Serikat Barat Daya," terangnya.

Selama tujuh tahun terakhir, telah terjadi perdebatan tentang kontribusi Paleo-Eskimo secara genetik kepada orang-orang yang tinggal di Amerika Utara saat ini.

"Temuan tim sejauh ini telah menyelesaikan perdebatan, sekaligus mendukung teori bahwa Paleo-Eskimo yang mewariskan bahasa penutur Na-Dene," lanjutnya.

Studi kedua, bahwa Anna Stone menyandarkan bahwa bangsa Paleo-Eskimo memiliki garis keturunan Asia. "Studi ini menarik karena memberi kita wawasan tentang dinamika populasi, lebih dari 30.000 tahun, yang telah terjadi di timur laut Siberia," ungkap Anna dalam Craft.

Para peneliti mengambil sampel genetik dari fosil purbakala sebanyak 34 individu yang ditemukan di Siberia, yang usianya berkisar antara 600 hingga 31.600 tahun. 


Stone mengatakan migrasi yang dilakukan menggambarkan bagaimana perubahan iklim berdampak pada dinamika populasi purba. "Sekitar 500 orang Siberia purba mencari iklim yang layak huni di Beringia selatan, hingga bermigrasi terus ke Amerika bagian utara," katanya.

"Selain tempat tinggal, kemungkinan, mereka mengikuti hewan yang buruan dan mengambil keuntungan dari tanaman yang mereka kumpulkan ketika distribusi itu bergeser ke selatan, ini menghasilkan interaksi dan perubahan populasi hingga kini," terang Stone.

Bukti yang terkuak menyebut bahwa penduduk asli Amerika berasal dari manusia purba Siberia, Rusia bagian Asia Utara. "DNA satu individu Siberia, berusia sekitar 10.000 tahun, menunjukkan lebih banyak kemiripan genetik dengan penduduk asli Amerika," pungkasnya.

Genom yang lebih modern dari fosil berusia 10.000 tahun yang ditemukan di dekat Sungai Kolyma, Siberia, membuktikan campuran DNA dari garis keturunan Asia Timur dan Siberia Utara Kuno. Genomnya serupa dengan yang terlihat pada populasi penduduk asli Amerika.

Kuburan Massal Berisi 25 Kerangka Elite Ditemukan di Kota Kuno Peru


Para arkeolog yang menjelajahi kota kuno Chan Chan di Peru menemukan sisa-sisa kerangka 25 orang di satu situs pemakaman berukuran sedang. Para pria, wanita, dan anak-anak yang dimakamkan di sana tampaknya merupakan orang-orang Chimu yang legendaris di Peru, yang membangun peradaban canggih yang bertahan selama lebih dari lima abad sebelum menyerah pada Inca.

Bekerja di bawah naungan Chan Chan Archaeological Research Program, sebuah proyek inisiatif yang disponsori oleh Kementerian Kebudayaan Peru, para arkeolog menemukan sisa-sisa orang-orang Chimu di kuburan seluas 10 meter persegi yang telah digali di dalam area yang telah ditinggikan di kompleks bertembok Utzh An (Great Chimu). Mereka terkejut menemukan kuburan di lokasi ini, karena kompleks bangunan ini diyakini berfungsi sebagai istana yang ditempati oleh para bangsawan dan pemimpin Chimu.

"Sebagian besar dari mereka (sisa-sisa) milik wanita berusia di bawah 30 tahun yang dimakamkan dengan benda-benda yang digunakan dalam kegiatan tekstil, beberapa anak-anak, dan beberapa remaja," papar Jorge Meneses, pemimpin penggalian ini, seperti dilansir ANDINA, kantor berita Peru. "Ini adalah populasi yang sangat spesifik, tidak terlalu muda mengingat umur manusia rata-rata adalah 40 tahun."

Para arkeolog menemukan kuburan itu saat menggali di dekat tembok selatan kompleks istana tersebut. Ruang pemakaman kecil itu menampilkan dua tingkat tanggul, dan secara keseluruhan ada sekitar 70 bejana dan barang-barang terkait yang ditemukan yang tampaknya digunakan dalam pekerjaan tekstil.

Para peneliti menemukan usia orang-orang di kuburan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka tidak mati karena sebab alami. Hal ini menimbulkan beberapa spekulasi bahwa mereka mungkin telah menjadi korban pengorbanan manusia.

Meneses menolak teori ini. Seperti banyak budaya Amerika Selatan dan Mesoamerika kuno, suku Chimu melakukan pengorbanan manusia sampai batas tertentu. Tetapi sisa-sisa kerangka ini tidak mengandung tanda yang konsisten dengan kematian yang kejam, seperti yang diperkirakan jika mereka dibunuh selama upacara pengorbanan.


Berdasarkan lokasi yang tidak biasa di mana kerangka itu ditemukan, para arkeolog percaya bahwa situs pemakaman kecil itu kemungkinan disediakan sebagai tempat peristirahatan bagi anggota-anggota keluarga elite Chimu atau bahkan mungkin satu keluarga elite.

Yang menjadi misteri dari penemuan ini adalah bagaimana orang-orang Chimu meninggal. Menurut Jorge Meneses, posisi salah satu kerangka menunjukkan bahwa kerangka itu telah dikubur tidak lama setelah kematian orang tersebut. Kerangka ini sebagian besar utuh dan umumnya terawetkan dengan baik.

Namun, tulang-tulang di sekitarnya telah memutih dan dalam beberapa kasus telah bercampur menjadi satu. Ini menunjukkan bahwa kerangka-kerangka yang lain itu telah terpapar unsur-unsur untuk sementara waktu di beberapa titik, sebelum ditambahkan ke kuburan pada waktu yang mungkin bersamaan.

Apakah orang-orang yang malang ini semuanya terbunuh pada saat yang sama selama bencana alam atau perang? Mayat-mayat itu mungkin telah ditemukan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa yang merenggut nyawa mereka, yang akan menjelaskan mengapa tulang mereka rusak akibat sinar matahari. Mereka mungkin juga telah terseret dari kuburan sebelumnya oleh banjir dan ditempatkan di kuburan lain setelah tulang-tulang mereka ditemukan.

Meskipun ada beberapa tulang yang bercampur, beberapa upaya tampaknya telah dilakukan untuk menyatukan kembali kerangka-kerangka tersebut. Mayat-mayat itu ditemukan terbungkus kain dan telah ditempatkan dalam posisi duduk. Ini menunjukkan bahwa bangsa Chimu memang berhati-hati saat menguburkan orang-orang mereka yang telah mati, mungkin sebagai persiapan untuk masuknya mereka ke dunia berikutnya, kata arkeolog Sinthya Cueva seperti diberitakan Ancient Origins.


Chan Chan yang menjadi tempat penemuan ini adalah ibu kota Chimor, nama untuk kerajaan Chimu yang memerintah wilayah tersebut pada era pra-Inca. Kota ini dibangun sekitar tahun 850 Masehi di sepanjang pantai utara Peru, di lokasi yang tidak jauh dari kota modern Trujillo.

Kota kuno ini diakui sebagai salah satu situs arkeologi terpenting di Amerika. Kota ini menyimpan reruntuhan kuno seluas 36 kilometer persegi yang ditinggalkan orang-orang kerajaan Chimor ketika ditaklukkan oleh tentara Inca yang menyerang. Kota kuno ini sempat berkembang antara tahun 900 Masehi 1470 Masehi sebelum akhirnya ditinggalkan dan terbengkalai.

Para ilmuwan dan turis yang datang ke Chan Chan dapat menjelajahi sisa-sisa kuil piramida kuno dan istana yang luas. Selain itu, di kota ini juga situs waduk yang dibangun dengan mengesankan, yang semuanya dibangun dari batu bata lumpur.

Saturday, September 24, 2022

Homo Bodoensis, Spesies Baru Leluhur Manusia yang Hidup di Afrika

Tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Dr. Mirjana Roksandic, paleoantropolog dari University of Winnipeg telah mengumumkan penamaan spesies baru nenek moyang manusia, Homo bodoensis. Spesies ini hidup di Afrika selama Pleistosen Tengah, sekitar setengah juta tahun yang lalu dan merupakan nenek moyang langsung manusia modern.

Seperti diketahui, pleistosen Tengah (sekarang berganti nama menjadi Chibanian dan bertanggal 774.000-129.000 tahun yang lalu) penting karena melihat kebangkitan spesies kita sendiri (Homo sapiens) di Afrika, kerabat terdekat kita, dan Neanderthal (Homo neanderthalensis) di Eropa.

Namun, evolusi manusia selama zaman ini kurang dipahami, sebuah masalah yang oleh ahli paleoantropologi disebut "kekacauan di tengah". Pengumuman Homo bodoensis berharap dapat memberikan kejelasan pada bab yang membingungkan namun penting ini dalam evolusi manusia. Rincian studi tersebut telah dipublikasikan di jurnal Evolutionary Anthropology pada 28 Oktober 2021.


"Studi tentang evolusi manusia di Pleistosen Tengah dan Akhir telah mengalami kemajuan signifikan dalam beberapa dekade terakhir," kata Roksandic, penulis utama studi tersebut dalam rilis University of Winnipeg.

Menurutnya, kita sekarang tahu bahwa asal Homo sapiens adalah Afrika (mungkin pan-Afrika) dan meluas lebih jauh ke akhir Pleistosen Tengah daripada yang diperkirakan sebelumnya. Juga jelas bahwa takson ini menyebar keluar dari Afrika sebelum 60.000 tahun yang lalu, kemungkinan dalam beberapa gelombang yang lebih kecil, dengan penyebaran besar pasca 60.000 tahun yang lalu.

"Lebih jauh, selama dua dekade terakhir, spesies yang termasuk dalam genus Homo (misalnya, Homo floresiensis, Homo naledi, dan Homo luzonensis) yang sezaman dengan garis keturunan Homo sapiens tetapi dianggap tidak banyak berperan dalam evolusi yang terakhir, membuktikan kompleksitas catatan evolusi manusia Pleistosen kemudian," Roksandic menjelaskan.


Nama baru ini didasarkan pada penilaian ulang fosil yang ada dari Afrika dan Eurasia dari periode waktu ini. Secara tradisional, fosil-fosil ini telah ditetapkan secara bervariasi baik sebagai Homo heidelbergensis atau Homo rhodesiensis, keduanya membawa banyak definisi yang seringkali bertentangan.

"Berbicara tentang evolusi manusia selama periode ini menjadi tidak mungkin karena kurangnya terminologi yang tepat yang mengakui variasi geografis manusia" menurut Roksandic.

Baru-baru ini, bukti DNA telah menunjukkan bahwa beberapa fosil di Eropa yang disebut Homo heidelbergensis sebenarnya adalah Neanderthal awal, membuat nama itu berlebihan. Untuk alasan yang sama, nama tersebut perlu ditinggalkan ketika menggambarkan fosil manusia dari Asia timur menurut rekan penulis, Xiu-Jie Wu dari Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology, Beijing.

Lebih lanjut mengacaukan narasi, fosil-fosil Afrika yang berasal dari periode ini kadang-kadang disebut sebagai Homo heidelbergensis dan Homo rhodesiensis. Yang terakhir didefinisikan dengan buruk dan namanya tidak pernah diterima secara luas. Ini sebagian karena hubungannya dengan Cecil Rhodes dan kejahatan mengerikan yang dilakukan selama pemerintahan kolonial di Afrika, suatu kehormatan yang tidak dapat diterima mengingat pekerjaan penting yang dilakukan menuju dekolonisasi sains.

Nama "bodoensis" berasal dari tengkorak yang ditemukan di Bodo D'ar, Ethiopia, dan spesies baru ini dianggap sebagai nenek moyang langsung manusia. Di bawah klasifikasi baru, Homo bodoensis akan menggambarkan sebagian besar manusia Pleistosen Tengah dari Afrika dan beberapa dari Eropa Tenggara, sementara banyak dari benua terakhir akan diklasifikasi ulang sebagai Neanderthal.


Rekan penulis pertama Predrag Radovic dari University of Belgrade, Serbia mengatakan, "Istilah-istilah harus jelas dalam sains, untuk memfasilitasi komunikasi. Mereka tidak boleh diperlakukan sebagai mutlak ketika mereka bertentangan dengan catatan fosil.

Pengenalan Homo bodoensis ditujukan untuk "memotong simpul Gordian dan memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan jelas tentang periode penting dalam evolusi manusia ini," menurut salah satu rekan penulis Christopher Bae dari Departemen Antropologi, University of Hawai'i at Manoa.

Menurut Roksandic, menamai spesies baru adalah masalah besar, karena Komisi Internasional untuk Nomenklatur Zoologi mengizinkan perubahan nama hanya di bawah aturan yang sangat ketat. "Kami yakin ini akan bertahan lama, nama takson baru akan hidup hanya jika peneliti lain menggunakannya," kata Roksandic.

Lempeng Batu Berusia 4.000 Tahun Ini Diperkirakan Peta Tertua di Eropa


Sebuah lempengan batu berusia 4.000 tahun, pertama kali ditemukan lebih dari seabad yang lalu di Prancis. Berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan di Bulletin of the French Prehistoric Society, ini mungkin merupakan peta tertua di Eropa.

The Saint-Bélec Slab diperkirakan berasal dari Zaman Perunggu awal (2150-1600 SM). Lempengan ini pertama kali ditemukan pada 1900 di tanah pemakaman prasejarah di Finistère, Brittany.

Lempengan ini menjadi salah salah satu dinding kotak batu yang menampung mayat-mayat. Sempat disimpan di sebuah museum pribadi, lempengan yang berukuran panjang 3.9 meter ini ditemukan kembali di ruang bawah tanah kastil pada tahun 2014. Namun baru belakangan ini para peneliti mulai memahami cerita menarik di balik lempengan prasejarah ini.

Pada tahun 2017, sekelompok peneliti di Eropa mulai menganalisis ukiran pada lempengan menggunakan survei 3D resolusi tinggi dan fotogrametri. Ini merupakan sebuah proses menganalisis objek melalui pengambilan foto detail.

Mereka menemukan bahwa lempengan itu memiliki semua tanda yang ada pada peta, seperti kontur yang disatukan oleh garis. Peta ini juga memiliki garis mewakili jaringan sungai dan pembuatnya tampaknya sengaja menggunakan bentuk 3D untuk mewakili lembah.

Ukiran pada lempengan kemudian dibandingkan dengan elemen lanskap Prancis. Kemudian diambil kesimpulan bahwa lempengan itu mewakili area di sepanjang Sungai Odet di Prancis barat.


Geo-lokasi mengungkapkan wilayah yang diwakili pada lempengan itu memiliki akurasi 80% ke area sekitar bentangan sungai sepanjang 18 mil.

Selain sungai dan bukit, terdapat bidang yang mungkin mewakili lokasi pemukiman, bukit dan sistem di lapangan, papar Peter Dockrill dari laman Science Alert. Penandaan tersebut dapat dikaitkan dengan pengaturan penggunaan dan kepemilikan lahan.

Ini mungkin peta tertua dari suatu wilayah yang telah diidentifikasi di Eropa, menurut penulis studi Clément Nicolas dari Universitas Bournemouth.

Ada beberapa peta yang diukir di batu di seluruh dunia. Umumnya, itu hanya interpretasi. Tapi ini adalah pertama kalinya sebuah peta menggambarkan suatu area pada skala tertentu.


Peta itu kemungkinan digunakan oleh pangeran atau raja Zaman Perunggu untuk menandai kepemilikan atas area tertentu.

Wilayah itu kemungkinan dimiliki oleh entitas politik yang sangat hierarkis yang mengendalikan daerah itu di awal Zaman Perunggu.

Kesimpulan soal fungsi peta untuk penandaan wilayah diperkuat oleh pernyataan dari Yvan Pailler, seorang arkeolog dari Universitas Western Brittany. Menurutnya, orang dari Zaman Perunggu tidak menggunakan peta dari lempengan batu untuk bernavigasi.

Pada zaman itu, umumnya peta ditransmisikan dalam bentuk cerita atau kalimat. Misalnya untuk pergi ke titik A, Anda harus melewati sungai dan bukit.


Lalu mengapa lempengan tersebut digunakan sebagai dinding kotak batu penampung mayat? Fakta bahwa itu kemudian dikubur bisa juga berarti bahwa itu adalah akhir dari kekuasaan raja atau pangeran. Teori lain menyimpulkan soal adanya penolakan terhadap kekuasaan yang dipegang oleh para elit atas masyarakat pada saat itu.

Arkeolog Paul du Chatellier menemukan lempengan itu pada tahun 1900. Setelah kematiannya, anak-anaknya menyumbangkan koleksi arkeologinya ke Museum Arkeologi Nasional Saint-Germain-en-Laye, di mana lempangan disimpan selama beberapa dekade.

Sementara itu, beberapa cendekiawan, termasuk Pailler dan Nicholas, membaca laporan du Chatellier tentang temuannya . Mereka menyimpulkan bahwa tanda lempengan itu dapat mewakili peta. Pada 2014, artefak itu pun ditemukan di ruang bawah tanah museum.

Kita cenderung meremehkan pengetahuan geografis masyarakat masa lalu. Lempengan ini penting karena menyoroti pengetahuan kartografi masyarakat dari Zaman Perunggu.

Misteri Tengkorak dengan Tempurung Memanjang di Hal Saflieni Hyopeum


Hal Saflieni Hyopeum merupakan permakaman bawah tanah yang ditemukan pada 1902. Bertempat di sebuah bukit menghadap ke bagian terdalam Grand Harbour of Valetta, Kota Paola, Malta.

Dilansir dari laman UNESCO, tempat ini merupakan monument prasejarah yang unik. Sebuah kuburan bawah tanah yang awalnya berisi sisa–sisa dari sekitar 7.000 individu. Permakaman ini digunakan di setiap fase prasejarah Malta atau mulai dari sekitar 4.000 SM sampai 2.500 SM.

Dari penggalian di tempat ini didapatkan banyak hal, misalnya artefak berupa bejana tembikar yang didekorasi dengan desain rumit, kancing cangkang, manik-manik dari batu dan tanah liat. Ditemukan pula jimat dan batu kecil yang diukir membentuk hewan diduga dipakai sebagai liontin.

Tulang belulang manusia yang ditemukan di tempat ini menunjukkan bahwa ritual penguburan memiliki lebih dari satu tahap. Menariknya, dilansir dari Archaeology World, kumpulan tengkorak dari tempat ini menunjukkan kelaian dan atau patologi yang aneh. Sebagai contoh, terkadang tidak ada garis rajut tengkorak, bukti pengeboran dan pembengkakan di bagian belakang kepala diduga bekas trauma yang pulih.

Adapun yang paling aneh adalah tengkorak yang memanjang tanpa adanya medial fossa, sambungan yang membentang di sepanjang bagian atas tengkorak. Alasan dari kelainan ini diselimuti misteri.

Tengkorak dipajang di Museum Nasional Arkeologi hingga tahun 1985. Pihak otoritas yang bertanggung jawab atas warisan prasejarah Malta, Heritage Malta, memindahkannya dari pandangan publik sekitar 30 tahun yang lalu. Sejak saat itu, tengkorak ini hanya bisa dilihat oleh peneliti dengan izin khusus.


Pihak otoritas juga membantah beberapa teori yang beredar terkait dengan ‘pendeta ular’ atau ‘tengkorak alien’. Sikap ini terbilang wajar dilakukan mengingat selain bukti tengkorak yang cukup aneh, selebihnya hanyalah spekulasi.

Dr Anton Mifsud dan rekannya, Dr Charles Savona Ventura menjadi yang pertama untuk menyelidiki tengkorak. Mereka bersaksi tentang keberadaan dan kelaian yang ditemukan. Sedangkan Vittorio Di Cesare dan Adriano Forgione dari majalah HERA, Italia adalah satu-satunya non-pejabat yang mendapat izin untuk menyelidiki tengkorak. Mereka menerbitkan artikel yang sangat detail mengenai temuan dan tampaknya mereka sangat terkesan.

Skullcap yang memanjang merupakan bagian yang paling menarik. Penelitian mereka menegaskan bahwa tempurung kepala panjang secara alami dan bukan karena perban ataupun papan, seperti kebiasaan di peradaban kuno Amerika Selatan.


Para ahli ini juga tidak dapat menemukan rajutan median atau sagital, yang dianggap ‘mustahil’ oleh para ahli medis dan ahli anatomi. Dalam artikelnya, mereka juga menarik kesimpulan yang berkaitan dengan budaya Mesir dan apa yang disebut ‘pendeta ular’.

Di sisi lain, sosok Rodriguez Aguilera yang pernah mengaku diculik oleh alien saat masih anak-anak, pernah mengklaim bahwa makhluk ekstraterestrial ini mengatakan padanya, “ada 30.000 tengkorak yang berbeda dari manusia di sebuah gua, di pulau di Laut Mediterania, Malta.”


Tengkorak ini berasal dari 3.000–2.500 SM. Majalah National Geographic terbitan edisi Januari – Juni 1920, Volume XXXVII melaporkan bahwa penduduk pertama Malta adalah ras dengan tengkorak memanjang.

“Dari pemeriksaan kerangka (dari) Zaman Batu yang dipoles, tampak bahwa penduduk awal Malta adalah ras orang-orang bertengkorak panjang dengan tinggi sedang, mirip dengan orang-orang awal Mesir yang menyebar ke barat di sepanjang pantai utara Afrika. Beberapa pergi ke Malta dan Sisilia yang lainnya ke Sardinia dan Spanyol,” begitu National Geographic melaporkan.

Friday, September 23, 2022

Teknologi Ungkap Rahasia Gulungan Alkitab Hangus Berusia 1.500 Tahun


Lebih dari empat dekade lalu, seorang arkeolog menemukan sebuah gulungan di reruntuhan pemukiman kuno yang dibangun di dekat Laut Mati, Israel.

Arkeolog menemukan gulungan naskah ini pada tahun 1970 namun tidak sampai membukanya karena kekhawatiran akan rusak. Disimpan dengan aman sejak saat itu, gulungan tersebut adalah Ein Gedi.

Gulungan Ein Gedi adalah sebuah perkamen kuno dan rapuh dalam bahasa Ibrani. Berdasarkan metode pengujian karbon diperkirakan berasal abad ketiga atau keempat Masehi. Para peneliti di University of Kentucky, Amerika Serikat, dan Jerusalem berhasil membaca naskah di dalamnya lewat analisis tiga dimensi dengan pengindaian sinar X, seperti dilaporkan jurnal Sciences Advances.

Membaca naskah tersebut dengan teknologi, yakni sebuah perangkat lunak khusus mendeteksi lapisan perkamen dan membukanya secara digital, mengungkapkan untuk pertama kalinya naskah Ibrani tertulis pada gulungan sekitar 1.500 tahun yang lalu.

“Saya sebenarnya belum pernah melihat gulungan yang sebenarnya,” kata Brent Seales, seorang profesor di University of Kentucky. “Bagi saya, itu adalah bukti kekuatan era digital.”

Ketertarikannya pada teks-teks yang rusak dimulai bertahun-tahun yang lalu dengan setumpuk gulungan Romawi kuno yang digali di tempat yang dulunya adalah kota peristirahatan Herculaneum.

Terkubur selama letusan Vesuvius 79 M yang terkenal, gulungan Herculaneum tampak seperti silinder arang. Untuk membaca perkamen rapuh itu, para peneliti menggunakan micro-computed tomography (micro-CT) scan diikuti dengan perangkat lunak volume cartography untuk menemukan tinta dalam gulungan yang terbakar itu, dan dengan demikian mampu merekonstruksi teks dokumen tersebut.

“Agak mahal dan memakan waktu untuk dilakukan, tetapi Anda dapat melihat ke dalam suatu objek tanpa merusaknya,” kata James Miles, seorang mahasiswa pascasarjana di University of Southampton dan direktur Archaeovision, sebuah perusahaan yang memindai benda-benda kuno.


Untuk membedakan kontur papirus yang digulung, Seales menulis sebuah program komputer. Dia menyamakan prosesnya dengan kartografi: data kepadatan dari pemindaian mikro-CT adalah seluruh dunia dengan bentuk dan bentuk yang kacau, dan belokan papirus seperti tepi benua yang dapat dibuat sketsa oleh algoritmanya.

Sayangnya, sinar-x dan algoritmanya tidak bisa membaca tinta berbasis karbon pada gulungan Romawi. Kabar tentang perangkat lunak Seales ini sampai ke Israel Antiquities Authority (IAA). Mereka sudah memindai gulungan Ein Gedi dengan mesin mikro-CT tetapi tidak dapat memahami informasinya.

Beruntung bagi Seales, orang Ibrani menambahkan logam pada tinta mereka, yang terlihat jelas sebagai bintik putih terang dalam data CT. Saat perangkat lunaknya hampir membuka satu lapisan dari tengah gulungan, terdapat teks: "TUHAN memanggil Musa dan berbicara kepadanya," itu dimulai. Penerjemah Israel mengidentifikasi kata-kata itu sebagai ayat pertama Imamat, kitab hukum.

“Penemuan ini benar-benar mengejutkan kami. Kami yakin itu hanya bidikan dalam kegelapan tetapi memutuskan untuk mencoba dan memindai gulungan yang terbakar itu,” Pnina Shor, kurator dan direktur Proyek Gulungan Laut Mati IAA.

Bagi para sarjana Alkitab, menemukan salinan lain dari Kitab Imamat bukanlah hal yang menggemparkan.

“Ada sedikit kejutan dalam menemukan gulungan Imamat,” kata James Aitken, dosen bahasa Ibrani di Universitas Cambridge.

“Kami mungkin memiliki lebih banyak salinan daripada buku lain, karena gaya bahasa Ibraninya sangat sederhana dan berulang-ulang sehingga digunakan untuk latihan menulis anak-anak,” sambungnya.

Aitken mengatakan yang membuat teks abad keenam luar biasa adalah usianya. Sampai tahun 1947, teks-teks Alkitab tertua yang diketahui berasal dari abad kesepuluh. Kemudian para penggembala kambing Badui yang menjelajahi gua-gua Qumran menemukan gulungan-gulungan Laut Mati yang ikonik, yang berasal dari antara abad ketiga SM.


Abad pertama Masehi Gulungan Ein Gedi adalah salah satu dari hanya tiga dokumen yang diuraikan dengan jarak yang jauh. Aitken mengatakan dua lain proyeknya merupakan fragmen dari kejadian yang diperkirakan berasal dari abad keenam dan gulungan keluaran dari abad ketujuh atau kedelapan abad.

Saat Seales bekerja untuk menyelesaikan decoding sisa gulungan Ein Gedi, dia membuat rencana untuk memulai gulungan lain yang ditemukan di situs yang sama. Dan dengan reputasinya yang berkembang untuk membangkitkan teks-teks dari kematian, proyek-proyek lain telah datang memanggil — termasuk sebuah novel dari awal abad ke-20 yang dibakar dalam kebakaran rumah.

“Ketika Anda memiliki teknologi baru seperti ini, itu menggerakkan garis dari apa yang mungkin. Orang-orang mulai berpikir untuk mempelajari materi yang sebelumnya tidak bisa mereka pelajari,” tutupnya.

Kisah Raja Minoan Hingga Mitologi Yunani Terhadap Monster Minotaur


Minotaur atau Minotauros Yunani (Banteng Minos) adalah monster dalam mitologi Yunani. Penduduk Yunani kuno percaya akan adanya monster Kreta yang luar biasa kuat dan besar, memiliki tubuh perkasa layaknya manusia dan berkepala banteng.

Martin Ries pada tahun 1972, menulis dalam jurnalnya yang berjudul Picasso and the Myth of the Minotaur, dimuat pada Art Journal, Taylor and Francis Online, menjelaskan tentang perhatian Picasso terhadap mitologi Yunani kuno dalam ekspresinya yang dituangkan pada kanvas.

Picasso menggambarkan kisah-kisah tentang Minotaur dalam kanvasnya yang menjadi representasi kepercayaan bagi masyarakat modern. Kisahnya sangat unik dan menarik untuk diceritakan hingga era modern. 

Legenda Minotaur dimulai dari kisah Raja Minos, Penguasa Minoa di pulau Kreta. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya sangat disukai oleh semua dewa Yunani. Sehingga, ia meminta Poseidon untuk mengiriminya seekor banteng dari laut.

"Dia berjanji akan mengorbankan banteng itu kembali kepada para dewa untuk mendapatkan bantuan dan kekuatan. Ketika Minos melihat betapa bagusnya banteng itu, dia malah memutuskan untuk memeliharanya" tulisnya.

"Ketika Poseidon mengetahui bahwa Minos tidak mengorbankan banteng, dia marah. Meskipun Poseidon dikabarkan memiliki temperamen, ia memutuskan untuk membalas dendam tanpa menggunakan kekuatan. Dia menyebabkan Pasiphae, Ratu Kreta dan istri Minos, jatuh cinta pada banteng" tambahnya.

Poseidon menghukum dengan membuat istrinya, Pasiphaë jatuh cinta kepada seekor banteng. Pasiphaë bersanggama dengan banteng, bersembunyi di dalam sapi kayu yang dibangun oleh Daedalus (skulptor dan arsitek handal dalam mitologi Yunani). 


Asterius, Minotaur pertama, adalah anak hasil dari hubungan gelap dan tak wajar Pasiphaë dengan banteng. Inilah sebabnya mengapa Minotaur digambarkan memiliki tubuh berotot seperti pria dan berkepala banteng.

Encyclopedia Britannica dalam artikelnya berjudul Minotaur: The Greek Mythology, dipublikasikan pada 18 Maret 2021, mengisahkan tentang hukuman dari Raja Minos kepada Asterius dengan membuangnya ke labirin raksasa yang rumit seumur hidupnya. 

Ketika Raja Minos mengetahui bahwa istrinya, Pasiphaë melahirkan anak dari banteng, dia marah. Ia marah lantaran dirinya tak menyukai Poseidon karena membuat istrinya menjadi tidak setia. Kemudian, ia mulai menyuruh Deadalus untuk membangun Labirin raksasa yang melegenda di Yunani kuno.

Ia kemudian membuang Asterius ke labirin yang rumit ini, tempat dia menjalani hidupnya. Setiap tahunnya, tujuh wanita muda dan tujuh pria muda dikirim ke labirin sebagai pengorbanan untuk Minotaur, Asterius.

Pada dasarnya, para tumbal ini adalah satu-satunya sumber makanan Asterius. Akhirnya, salah satu pemuda bernama Theseus berhasil sampai ke ujung labirin dengan sukses dan membunuh Asterius.

Theseus juga sangat populer dalam kepercayaan Yunani Kuno. Ia dianggap sebagai pahlawan Athena setelah mengakhiri seteru dengan membunuh Asterius. Dalam kisah yang disebutkan oleh Mary Renault pada novelnya berjudul The King Must Die, tulisannya di tahun 1958, mengisahkan perjuangan Theseus.

"Theseus bersama Ariadne, putra dari Minos dan Pasiphaë, berhasil membunuh Asterius setelah melalui labirin yang rumit, panjang, dan terjal" tulisnya. Setelahnya, Theseus yang berhasil menaklukan Minotaur yang meresahkan, ia juga mengajak Ariadne untuk melarikan diri dari Kreta.


Sangat menarik untuk dicatat bahwa adanya bukti yang ditemukan dalam peradaban Minoa di Kreta, khususnya di Knossos, yang menunjukkan bahwa banteng pada umumnya memainkan peran penting dalam budaya tersebut. Misalnya, ada lukisan dinding di Knossos yang menggambarkan seekor banteng raksasa yang sedang melompat, diduga merupakan Asterius.

Motif ini juga muncul pada patung-patung yang ditemukan dari situs penggalian. Secara umum, kisah Minotaur pertama, Asterius, menunjukkan bahwa orang Minoa takut pada makhluk itu dan mungkin juga sangat menghormatinya.

Thursday, September 22, 2022

Tersisa 211 Ekor, Iguana Merah Muda Galapagos Terancam Punah


Kabar mengkhawatirkan datang dari iguana merah muda atau Conolophus marthae dari Galapagos. Hasil awal dari sensus komprehensif pertama mengungkapkan reptil dari famili Iguanidae itu sangat membutuhkan tindakan konservasi alias terancam punah.

Telat dilakukan ekspedisi gabungan oleh Galapagos Conservancy dan Direktorat Taman Nasional Galapagos (GNPD) selama 10 hari, baru-baru ini. Melansir dari laman Galapagos Conservancy sebanyak 30 ilmuwan dan penjaga taman melakukan survei populasi Iguana Merah Muda di area seluas hampir 1.000 hektar di area Wolf Volcaco, Pulau Isabela.

Mereka menggunakan metode mark-recapture untuk menganalisis populasi iguana merah muda. Hasilnya, ilmuwan dari Galapagos Conservancy memperkirakan jumlah total iguana merah muda di habitat aslinya sebanyak 211 ekor.

“Dalam sensus, 53 iguana ditemukan dan (sementara) ditangkap. 94 persen iguana merah muda tinggal di ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut,” ujar pihak Taman Nasional Galapagos kepada Phys.

Adapun hal yang mengkhawatirkan adalah tidak ditemukannya iguana merah muda yang masih muda, mereka terakhir terlihat pada tahun 2014 lalu. Para peneliti merasa prihatin dengan adanya predator seperti hewan-hewan pengerat maupun kucing-kucing liar yang memangsa telur iguana merah muda dan yang baru menetas.

Pihak GNPD dan Galapagaos Conservancy telah menempatkan sejumlah kamera tersembunyi di dekat puncak Wolf Volcano. Dilengkapi dengan sensor yang bisa mendeteksi gerakan, rekaman dari kamera-kamera ini akan membantu para peneliti untuk memahami perilaku iguana merah muda dan bahaya yang mengancam mereka. Video yang diunggah pada laman Galapagos Conservancy menunjukkan seekor hewan pengerat yang kemungkinan memangsa telur ataupun iguana merah muda yang baru menetas.

Jorge Carrion selaku manajer dari Galapagos Conservancy Conservation lebih dalam menjelaskan  selama masa ekspedisi didapati bahwa rasio antara iguana merah muda jantan dan betina sama. Hal ini menandakan spesies ini tidak memiliki siklus reproduksi yang sama dengan iguana kuning.

Selain itu ditemukan simbiosis antara iguana merah muda dan burung kutilang darwin yang belum pernah terekam kamera sebelumnya. Burung memakan parasit yang ada di tubuh iguana merah muda. Pemandangan tidak biasa juga didapati dari ekspedisi ini, di mana seekor iguana seperti mencari sinar matahari.

Direktur GNPD, Danny Rueda dan direktur konservasi di Galapagos Conservancy sepakat bahwa menyelamatkan iguana merah muda menjadi prioritas utama konservasi saat ini.

“Mengingat adanya predator dan kurangnya iguana merah muda yang masih muda, serta jangkauan geografis spesies yang terbatas, iguana merah muda berada pada risiko kepunahan yang mungkin segera terjadi,” kata mereka kepada Sci News.

Iguana merah muda tidak hanya berbeda secara warna dengan iguana lainnya. Dikutip dari laman Galapagos Conservation Trust, mereka pertama kali terlihat oleh penjaga taman nasional pada tahun 1986.

Setelah puluhan tahun, tepatnya di tahun 2009, iguana merah muda secara resmi diklasifikasikan sebagai spesies yang terpisah dari iguana lain di Galapagos. Awalnya, perbedaan tersebut hanya dianggap sebagai keanehan semata.

Setelah dilakukan analisis genetik lebih jauh, pemisahan ini terjadi sekitar 5,7 juta tahun silam. Menjadikannya salah satu kejadian divergensi tertua yang pernah tercatat di Galapagos.

Secara penampilan fisik, iguana merah muda ini tidak berbeda dengan iguana Galapagos lainnya. Mereka memiliki kepala yang pendek dan kaki belakang yang kuat dengan dengan cakar tajam. Kendati demikian, meski perawakannya menyeramkan, mereka merupakan hewan herbivora yang biasa makan daun dan buah pir.

Seperti namanya, ciri khas dari hewan ini adalah berwarna merah muda dengan garis hitam vertikal di sepanjang tubuh mereka. Warna merah muda ini disebabkan oleh kurangnya pigmen di kulit, sehingga Anda juga bisa melihat darah di bawah kulit mereka.