Erupsi super atau letusan dahsyat Gunung Toba di Indonesia sekitar 74.000 tahun lalu merupakan letusan gunung berapi terbesar dalam 2 juta tahun terakhir. Namun, selama bertahun-tahun, dampak dari letusan gunung berapi besar di Sumatra Utara itu terhadap iklim dan evolusi manusia masih belum jelas.
Sebuah studi baru mencoba mengungkap dampak letusan besar tersebut. Menurut studi baru ini, letusan gunung berapi besar di Indonesia itu kemungkinan menyebabkan gangguan iklim yang parah di banyak wilayah di dunia. Namun begitu, populasi manusia purba terlindung dari efek terburuknya.
Studi yang digarap tim peneliti internasional ini dipimpin oleh Rutgers University di Amerika Serikat. Laporan temuan studi tersebut telah terbit di jurnal PNAS pada 20 Juli 2021.
“Kami dapat menggunakan sejumlah besar simulasi model iklim untuk menyelesaikan apa yang tampak seperti paradoks,” ujar Benjamin Black, asisten profesor di Departemen Ilmu Bumi dan Planet di Rutgers University-New Brunswick yang menjadi penulis utama studi tersebut.
“Kami tahu letusan ini terjadi dan pemodelan iklim masa lalu telah menyarankan konsekuensi iklim bisa parah, tetapi catatan arkeologi dan paleoklimat dari Afrika tidak menunjukkan respons yang begitu dramatis," jelas Black, sebagaimana dikutip dari situs resmi Rutgers University.
“Hasil kami menunjukkan bahwa kami mungkin tidak mencari di tempat yang tepat untuk melihat respons iklim. Afrika dan India relatif terlindung, sedangkan Amerika Utara, Eropa, dan Asia menanggung beban pendinginan,” papar Black.
“Salah satu aspek yang menarik dari hal ini adalah bahwa (manusia purba) Neanderthal dan Denisovan tinggal di Eropa dan Asia pada saat ini, jadi makalah kami menyarankan untuk mengevaluasi efek letusan Toba pada populasi tersebut dapat memerlukan penyelidikan di masa depan.”
Para peneliti menganalisis 42 simulasi model iklim global di mana mereka memvariasikan besarnya emisi belerang, waktu tahun letusan, keadaan iklim, dan ketinggian injeksi belerang untuk membuat penilaian probabilistik dari berbagai gangguan iklim yang mungkin disebabkan oleh letusan Toba. Pendekatan ini memungkinkan tim menjelaskan beberapa hal yang sebelumnya tidak diketahui terkait dengan letusan tersebut.
“Dengan menggunakan pendekatan probabilistik, kami bertujuan untuk memahami kemungkinan bahwa beberapa daerah tidak terlalu terpengaruh oleh Toba, mengingat berbagai perkiraan ukuran dan waktunya, selain kurangnya pengetahuan kami tentang keadaan iklim yang mendasarinya,” kata Black.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa kemungkinan ada variasi regional yang signifikan dalam dampak iklim akibat letusan Toba. Simulasi dalam studi ini memprediksi terjadinya pendinginan di belahan bumi utara setidaknya 4 derajat Celsius, dengan pendinginan regional setinggi 10 derajat Celsius tergantung pada parameter model.
Sebaliknya, bahkan di bawah kondisi letusan Toba yang paling parah, pendinginan di belahan bumi selatan --termasuk di wilayah yang dihuni oleh manusia purba- tidak mungkin melebihi 4 derajat Celsius. Para peneliti meyakini suhu di belahan bumi selatan tak mungkin turun lebih dari 4 derajat Celsius, meskipun wilayah-wilayah di Afrika selatan dan India mungkin telah mengalami penurunan curah hujan saat tingkat emisi belerang di udara tinggi akibat letusan Toba tersebut.
Hasil studi ini sejalan dengan bukti arkeologi independen yang menunjukkan bahwa letusan Toba memiliki dampak pada perkembangan spesies hominid di Afrika. Menurut para peneliti, pendekatan simulasi ensemble mereka ini dapat digunakan untuk lebih memahami letusan-letusan eksplosif lainnya di masa lalu dan masa depan.
“Hasil kami merekonsiliasi distribusi simulasi dampak iklim dari letusan dengan catatan paleoklimat dan arkeologi,” tulis para peneliti dalam laporan studi tersebut.
“Pandangan probabilistik gangguan iklim dari letusan super terbaru di Bumi ini menggarisbawahi distribusi dampak sosial dan lingkungan yang diperikaran tidak merata dari letusan eksplosif yang sangat besar di masa depan,” tambah mereka.
Studi ini melibatkan para peneliti dari National Center for Atmospheric Research, University of Leeds, dan University of Cambridge. Selain itu, penelitian ini juga didukung oleh National Center for Atmospheric Research dan National Science Foundation di Amerika Serikat.
0 comments:
Post a Comment