About

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tuesday, May 31, 2022

Nilai Fantastis Sebuah Temuan Emas Berbentuk Buku Mungil Abad Ke-15


Seorang perawat dari Lancaster, Inggris bernama Buffy Bailey menemukan sebuah buku kecil dari emas berusia 600 tahun menggunakan alat pendeteksi logam. Kala itu, Buffy Bailey sedang menelusuri lahan pertanian di dekat Kastil Sherrif Hutton, Yorkshire Utara bersama sang suami, Ian.

Tiba-tiba detektornya menangkap sinyal yang kuat. Dilansir dari Daily Mail, Buffy Bailey mengatakan bahwa dirinya dan suami pergi ke banyak wilayah di negaranya untuk mendeteksi logam.

“Kami memutuskan untuk mengunjungi York karena kami tahun (tempat) itu memiliki banyak sejarah,” ujar Buffy Bailey kepada Daily Mail.

Setibanya di sana, Buffy Bailey dan Ian bergegas memulai penelusuran. Dia mengatakan ingin fokus pada pendeteksian, bahkan ia memunggungi jalan setapak sehingga pejalan kaki lainnya tidak berinteraksi dengannya.

“Saya mendapat sinyal di tempat yang tepat. Saya menggali sedalam 5 inci (12,7 sentimeter) dan itu (buku emas kecil) di sana, saya masih tidak percaya itu sesuatu yang istimewa. Saya hanya berpikir itu adalah tag telinga domba tua atau pull ring (tarikan laci/pintu),” ungkap Buffy Bailey.

Namun, ketika tanah liat disingkirkan (dari temuan) Bailey menyadari ada sesuatu yang berbeda. Pikiran pertama saya semacam charm dari toko souvenir. Saya memotretnya dan memperbesarnya di ponsel saya, saat itulah saya tahu itu emas,” lanjutnya.

Benda ini memiliki panjang 1,5 sentimeter dengan berat sekitar lima gram. Terbuat dari emas 22 karat atau 24 karat, berasal dari abad ke-15 dan diyakini milik kerabat Raja Richard III. Para ahli telah menyamakan dan menghubungkannya dengan Middleham Jewel, sebuah liontin emas yang ditemukan dekat Kastil Middleham, rumah masa kecil Richard III. Liontin tersebut dijual pada tahun 1992 seharga £ 2,5 juta atau saat ini setara dengan Rp47,8 miliar.

Para ahli meyakini bahwa kedua benda tersebut mungkin telah diukir oleh pandai besi yang sama, diberikan kepada pemilik yang sama pula, seorang kerabat perempuan Raja yang akan melahirkan. Sama seperti Middleham Jewel, pada buku kecil ini terdapat ukiran santa pelindung persalinan abad pertengahan termasuk St Margaret dari Antiokhia.


Buffy Bailey menunjukkan buku emas ini kepada Richard III Society dan tengah diperiksa oleh Museum Yorkshire. Ian Bailey menambahkan bahwa pihak museum telah menggambarkan buku itu sebagai temuan penting.

“Mereka memberi tahu kami bahwa ukiran itu pasti St Leonard dan St Margaret yang keduanya merupakan santo pelindung persalinan. Pada tahun 1400-an sekitar 40 hingga 60 persen wanita meninggal saat melahirkan, jadi pemiliknya mungkin berdoa dengan benda ini sebagai semacam perlindungan—mungkin bagian dari korset bersalin atau penanda untuk Alkitab,” tambah Buffy Bailey.

Seorang ahli harta karun langka dan editor majalah Treasure Hunting, Julian Evan – Hart menggambarkan penemuan ini sebagai artefak sejarah yang sangat unik. Dia menuturkan bahwa buku tersebut bertanggal antara tahun 1280 dan 1410 ketika undang-undang tentang barang mewah melarang siapapun selain kaum bangsawan untuk membawa emas.


“Otomatis, kalau begitu ini merupakan milik seseorang yang sangat terkenal seperti anggota keluarga kerajaan,” katanya.

Sehubungan dengan kemiripannya dengan Middleham Jewel, Matt Lewis seorang spesialis di Richard III Society telah melihat buku tersebut. Menurutnya, dalam hal kualitas, memang sangat mirip dengan Middleham Jewel. Tidak hanya itu, gaya ukirannya pun mirip.

"(Buku ini) bertanggal pada waktu yang sama dengan permata itu dan ditemukan di dekat properti lain milik keluarga Richard III. Sangat mungkin bahwa itu adalah perhiasan lain yang ditugaskan oleh mereka dan dibuat oleh pandai besi yang sama. Ini adalah barang yang terlalu berharga untuk hilang begitu saja, jadi pemiliknya mungkin telah menguburnya untuk masa depan pada masa Reformasi ketika penggambaran agama dilarang,” pungkasnya.

Diperkirakan buku kecil dari emas ini bernilai £100.000 atau Rp 1,9 milyar. Museum York akan menentukan asal muasal dari penemuan ini sebelum memutuskan apakah akan mengumpulkan dana untuk membeli buku kecil emas dari penemunya berdasarkan penilaian juru lelang. Hasilnya kemudian akan dibagi rata antara Nyonya Bailey dan pemilik tanah tempat ditemukannya benda ratusan tahun itu.

 

Monday, May 30, 2022

Kegagalan Bertubi-tubi Homo Sapien Saat Mencoba untuk Menetap di Eropa


Manusia modern pernah beberapa kali melakukan upaya gagal untuk menetap di Eropa sebelum akhirnya mengambil alih benua itu. Ini adalah kesimpulan mencolok dari ilmuwan yang telah mempelajari jalannya Homo sapien eksodus dari Afrika puluhan ribu tahun yang lalu.

Para peneliti baru-baru ini menunjukkan situs-situs di Bulgaria, Rumania, dan Republik Ceko di mana sisa-sisa nenek moyang kita diperkirakan berusia antara 40.000 hingga 50.000 tahun. Namun, analisis tulang telah menghasilkan profil genetik yang tidak ada bandingannya di antara orang Eropa modern.

“Pemukiman awal ini tampaknya diciptakan oleh kelompok manusia modern awal yang tidak bertahan hidup untuk mewariskan gen mereka,” kata Profesor Chris Stringer dari Natural History Museum, London. “Mereka adalah garis keturunan spesies kita yang hilang.

“Poin penting adalah bahwa kematian pemukim manusia modern awal ini berarti Neanderthal masih menduduki Eropa selama beberapa ribu tahun sebelum Homo sapiens akhirnya mengambil alih benua.”

Manusia modern pertama kali muncul di Afrika sekitar 200.000 tahun yang lalu dan perlahan berevolusi melintasi benua sebelum pindah ke Asia barat sekitar 60.000 tahun yang lalu. Nenek moyang kita kemudian menyebar ke seluruh dunia sampai semua spesies hominin lain di planet ini punah, termasuk Denisovans di Asia Timur dan Homo floresiensis, “bangsa hobbit” Indonesia.

Neanderthal di Eropa adalah salah satu spesies hominin terakhir yang mati, mati sekitar 39.000 tahun yang lalu. Namun, penelitian terbaru – yang diuraikan pada pertemuan Masyarakat Eropa untuk studi Evolusi Manusia awal tahun ini – telah menunjukkan bahwa pengambilalihan oleh Homo sapiens ini tidak langsung. Pada beberapa kesempatan, kelompok pemukim awal tewas saat mereka pindah ke benua itu.

Dalam sebuah penelitian, peneliti internasional memeriksa kembali sebagian tengkorak dan kerangka seorang wanita yang ditemukan di gua Zlatý Kůň di Republik Ceko. Awalnya diperkirakan berusia 15.000 tahun, analisis baru ini menunjukkan bahwa usianya mungkin setidaknya 45.000 tahun, menjadikannya salah satu anggota Homo sapiens tertua yang ditemukan di Eropa. Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa dia tidak memiliki kesinambungan genetik dengan orang Eropa modern.

Seperti yang dikatakan oleh salah satu tim peneliti—Cosimo Posth—dari Institut Ilmu Arkeologi, Universitas Tübingen, Jerman: “Wanita ini tidak berkontribusi secara genetik pada orang Eropa masa kini.”


Situs lain di mana sisa-sisa manusia modern awal dari sekitar periode ini telah ditemukan termasuk Peștera cu Oase di Rumania dan gua Bacho Kiro di Bulgaria. Dan sekali lagi, keduanya tidak menghasilkan profil genetik yang meninggalkan jejak signifikan di Eropa.

Penemuan pos-pos ekspansi manusia modern yang hilang ini menunjukkan bahwa Homo sapiens menyebar ke Eropa dalam bentuk gelombang, dan menimbulkan pertanyaan kritis bagi para ilmuwan. Khususnya, mengapa perjalanan manusia modern ke Eropa berhasil ketika yang sebelumnya gagal? Bagaimanapun juga, dampak dari kesuksesan ini di dunia kita sangat signifikan. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa faktor lingkungan memainkan peran kunci dalam kematian Neanderthal. Pemicu yang mungkin termasuk pembalikan kutub magnet bumi yang terjadi sekitar 42.000 tahun yang lalu. Dikenal sebagai peristiwa Laschamps, itu bisa meningkatkan tingkat radiasi kosmik di seluruh planet ini selama beberapa abad.

Ada juga pendinginan iklim yang mempengaruhi Atlantik Utara saat ini, serta letusan gunung berapi besar dari kaldera ignimbrite Campanian di Italia tengah. Semua ini akan memberi tekanan pada populasi.

Tetapi beberapa peneliti mempertanyakan apakah peristiwa ini cukup merusak untuk menyebabkan kepunahan Neanderthal. Hal itu akan sama menantangnya bagi manusia modern, kata mereka, namun mereka tetap selamat.

Yang lain telah mengusulkan bahwa Homo sapiens hanya lebih baik dalam mengeksploitasi lanskap dan berburu lebih efektif, sebuah poin yang didukung oleh Stringer, yang berpendapat bahwa perubahan kecil dalam perilaku manusia saat ini bisa saja cukup untuk mengarah pada akumulasi perbaikan yang signifikan dalam kehidupan. dari pria dan wanita.


“Perilaku Homo sapiens adalah faktor besar dalam 'keberhasilan' mereka, saya pikir. Mungkin mereka berjejaring lebih baik, atau mengumpulkan pengetahuan lebih efektif, dan karenanya belajar bagaimana mengekstrak sumber daya lebih intensif daripada yang dilakukan Neanderthal. Keuntungan sekecil apa pun akan sangat penting. Anda hanya perlu meningkatkan kelangsungan hidup bayi Anda sebesar 1% dan itu adalah keuntungan besar di dunia zaman batu.”

Namun, ada faktor lain yang dikemukakan untuk keberhasilan umat manusia modern di Eropa. Studi genetik telah memperjelas bahwa perkawinan silang antara Homo sapiens dan Neanderthal terjadi berkali-kali. Akibatnya, pria dan wanita non-Afrika saat ini memiliki genom sekitar 2% Neanderthal. Angka itu akan jauh lebih tinggi 40.000 tahun yang lalu.

“Seiring bertambahnya jumlah Homo sapiens dan mereka menyebar semakin luas ke seluruh Eropa, sangat mungkin bahwa mereka 'menyerap' beberapa spesies lain —khususnya, Neanderthal—hingga punah,” kata Stringer. “Jika Neanderthal usia prima memasuki kolam pembiakan manusia modern, baik secara sukarela atau tidak, individu-individu itu tidak lagi berkontribusi pada kelangsungan hidup spesies mereka sendiri. Hasil akhirnya adalah kepunahan langsung bagi Neanderthal —meskipun, sebagai spesies, mereka masih bertahan dalam DNA pria dan wanita hari ini.”

Sunday, May 29, 2022

Shabti, Patung Simbol Pelayan Bangsa Mesir Kuno di Alam Baka


Kematian dan kehidupan setelahnya menjadi salah satu obsesi bangsa Mesir Kuno. Selama era Pra-Dinasti dan Dinasti Awal Mesir, ada beberapa bukti pengorbanan manusia untuk tujuan pemakaman sang Firaun. Para pelayan dikuburkan bersama tuannya agar dapat terus melayani mereka bahkan sampai ke alam baka.

Praktik ini kemudian dihentikan karena dirasa sia-sia mengorbankan manusia. Alih-alih mengorbankan pelayan mereka, keberadaan pelayan di alam baka pun dilakukan secara simbolis. Misalnya pada lukisan dan relief makam.

Lukisan pun berkembang menjadi penggunaan patung-patung sebagai simbol pelayan. Ini dikenal dengan sebutan shabti.

Shabti merupakan patung pemakaman yang digunakan oleh orang Mesir kuno sebagai simbol pelayan. Patung-patung ini ditempatkan di dalam makam di antara bekal kubur. Berukuran sekitar 5-30 cm, hanya pelayan khusus yang berukuran lebih besar.

Beberapa shabti paling awal yang diketahui ditemukan di kompleks pemakaman Nebhepetre Mentuhotep II. Ia adalah penguasa Dinasti Kesebelas yang dianggap sebagai firaun pertama Kerajaan Tengah di Deir el-Bahri, Thebes.

Di makam tersebut ditemukan patung-patung berbentuk manusia dan terbuat dari lumpur atau lilin. Mereka kemudian dibungkus dengan kain linen dan disimpan di peti mati, seolah-olah mereka adalah mumi asli.

Shabti dilengkapi dengan perlengkapan kecil yang akan membantu menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan pada mereka di akhirat. Seperti keranjang dan cangkul. Dari alat-alat mini ini, kita dapat menyimpulkan bahwa para shabti seharusnya melakukan pekerjaan pertanian untuk tuan mereka di akhirat.


Selain itu, pekerjaan lain yang dilakukan oleh para shabti misalnya memasak, membantu tuannya, atau pertukangan. Shabti ditorehkan dengan mantra sihir, yang juga dikenal sebagai formula shabti. Inilah yang menentukan fungsi dari masing-masing patung dan akan menghidupkan mereka di alam baka.

Arti dari istilah 'shabti' masih menjadi perdebatan. Namun salah satu terjemahan yang mungkin adalah 'penjawab'. Ini karena para shabti diyakini akan menjawab panggilan tuannya untuk bekerja di akhirat.

Bahan yang digunakan untuk membuat shabti juga berubah seiring berjalannya waktu. Patung-patung awal terbuat dari lumpur atau lilin. Tetapi selama berabad-abad, bahan yang lebih tahan lama digunakan untuk membuat shabti.

Di era Kerajaan Tengah, misalnya, shabti sering dibuat dari batu, sedangkan keramik menjadi bahan umum selama Kerajaan Baru. Bahan lain yang digunakan untuk membuat para pelayan kecil ini termasuk kayu dan terakota.


Selain itu, jumlah shabti yang menyertai orang mati juga bervariasi menurut periode waktu. Selama dinasti ke-18, orang mati biasanya ditemani oleh masing-masing satu shabti. Jumlah ini bertambah menjadi beberapa pada dinasti berikutnya.

Pada saat Periode Menengah Ketiga, orang mati dikuburkan dengan sebanyak 360 shabti. Selanjutnya, pada awal periode ini, ada juga jenis shabti khusus, yang dikenal sebagai shabti 'pengawas'. Patung-patung ini digambarkan dengan satu tangan ke samping dan tangan lainnya memegang cambuk.

Karena shabti pengawas masing-masing bertanggung jawab atas 10 shabti, pemakaman dengan 360 shabti biasa akan memiliki 36 pengawas. Kemudian, selama Periode Akhir, orang mati terus dikuburkan dengan sejumlah besar shabti. Namun seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan shabti pengawas mulai menghilang.

Patung shabti adalah salah satu benda paling umum peninggalan bangsa Mesir Kuno yang dapat dinikmati sampai saat ini. Karena ukurannya yang kecil dan bobotnya yang ringan, shabti sering dijadikan buah tangan para pelancong.

Saat Kepunahan Massal, Nenek Moyang Primata Telah Meninggalkan Pohon


Kepunahan massal akhir periode Kapur 66 juta tahun yang lalu ditandai oleh bencana ekologis di seluruh dunia dan pergantian spesies yang cepat. Spesies arboreal (penghuni pohon) khususnya berada pada risiko kepunahan karena kerusakan lingkungan hutan skala besar yang disebabkan oleh kebakaran hutan dari dampak asteroid Chicxulub. Hal itu telah menarik perhatian para ilmuwan tentang bagaimana spesies tersebut dapat bertahan dari kepunahan.

Sekarang, sebuah penelitian baru yang dipimpin oleh ilmuwan Cornell University dan University of Cambridge mengungkapkan bahwa sebagian besar mamalia yang masih hidup tidak bergantung pada pohon lagi. Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan di jurnal akses terbuka Ecology dan Evolution pada 11 Oktober 2021 dengan judul "Ecological selectivity and the evolution of mammalian substrate preference across the K–Pg boundary".

Menurut peneliti, meskipun beberapa mamalia arboreal, termasuk nenek moyang primata dan marsupial atau mamalia berkantung, yang hidup atau selamat dari kepunahan, mungkin cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan kehilangan pohon.

"Satu penjelasan yang mungkin tentang bagaimana primata bertahan dari kepunahan massal akhir Kapur, meskipun arboreal, mungkin karena beberapa fleksibilitas perilaku, yang mungkin merupakan faktor penting yang membuat mereka bertahan," kata Jonathan Hughes, seorang mahasiswa doktoral di Departemen Ekologi & Biologi Evolusi di Cornell University kepada Cornell Chronicle.

Ia menjelaskan, mamalia paling awal muncul kira-kira 300 juta tahun yang lalu dan mungkin telah terdiversifikasi atau menjadi lebih beragam bersamaan dengan perluasan tanaman berbunga sekitar 20 juta tahun sebelum peristiwa kepunahan massal di periode akhir zaman Kapur.

"Ketika asteroid Chicxulub menghantam (bumi), banyak dari garis keturunan mamalia ini mati," kata Hughes.

Ia menambahkan, pada saat yang sama, mamalia yang bertahan hidup terdiversifikasi ke semua relung ekologi baru yang terbuka ketika dinosaurus dan spesies lain punah.

Dalam studi tersebut, Hughes dan rekannya menggunakan filogeni yang diterbitkan, yaitu diagram seperti pohon bercabang yang menunjukkan keterkaitan evolusi di antara kelompok organisme, untuk mamalia.


Para peneliti kemudian mengklasifikasikan setiap mamalia hidup pada filogeni tersebut. Masing-masing dikelompokan ke dalam tiga kategori, yaitu arboreal, semi-arboreal dan non-arboreal - berdasarkan habitat pilihan mereka. Para peneliti juga merancang model komputer yang merekonstruksi sejarah evolusi mamalia.

Menurut peneliti, fosil mamalia dari sekitar peristiwa kepunahan massal 66 juta tahun yang lalu sangat langka dan sulit digunakan untuk menginterpretasikan preferensi habitat hewan. Para peneliti kemudian membandingkan informasi yang diketahui dari mamalia hidup dengan fosil yang tersedia. Itu dilakukan untuk membantu memberikan konteks tambahan untuk hasil yang didapatkan.

Secara umum, model menunjukkan bahwa spesies yang bertahan sebagian besar non-arboreal melalui peristiwa kepunahan massal akhir Kapur. Dengan dua kemungkinan pengecualian, yaitu nenek moyang primata dan marsupial.

Nenek moyang primata dan kerabat terdekatnya ditemukan berada di arboreal tepat sebelum peristiwa kepunahan massal di setiap model. Sedangkan, nenek moyang marsupial ditemukan arboreal di setengah dari model rekonstruksi.


Para peneliti juga memeriksa bagaimana mamalia sebagai kelompok, mungkin telah berubah dari waktu ke waktu. "Kami dapat melihat bahwa menjelang peristiwa kepunahan massal akhir Periode Kapur. Sekitar jangka waktu itu, ada lonjakan besar dalam transisi dari arboreal dan semi-arboreal ke non-arboreal, jadi bukan hanya yang kita lihat kebanyakan spesies non-arboreal, tetapi segala sesuatunya dengan cepat beralih dari arborealitas (penghuni pohon),"kata Hughes.

Penemuan Mangkuk Emas Bermotif Matahari di Ebreichsdorf, Austria


Penggalian di Ebreichsdorf, Austria telah dilakukan sejak September 2019. Di tempat ini, para arkeolog menemukan adanya pemukiman kuno yang berasal dari tahun 1300 – 1000 SM. Mereka menemukan mangkuk emas dengan bermotif matahari dan ratusan benda berbahan perunggu.

Dilansir dari Arkeonews, mangkuk ini ditemukan dekat dinding salah satu rumah prasejarah di pemukiman tersebut. Mangkuk memiliki diameter 20 sentimeter dan tinggi lima sentimeter.

Terbuat dari lembaran logam yang sangat tipis, mangkuk ini 90 persen dari emas, 5 persen dari perak dan 5 persen dari tembaga. Para peneliti tengah mencoba untuk mencari tahu dari mana bahan dasar yang digunakan untuk meleburnya.

Pada bagian dalam mangkuk terdapat kawat emas dibungkus bahan organik dan diikat dengan benang emas. Tim peneliti menduga, bahan pembungkus ini mungkin syal dekoratif yang dikenakan selama upacara keagamaan untuk menghormati matahari.

“Ini adalah penemuan penting bagi saya. Saya telah bekerja di beberapa benua, termasuk Mesir dan Guatemala, tetapi sejauh ini saya belum dapat menemukan yang serupa,” ujar Dr. Michal Sip, kepala penggalian di Ebreichsdorf, Austria.

Ini merupakan kali pertama mangkuk dengan jenis ini ditemukan di Austria. Dilansir dari Smithsonian Magazine, wadah seperti ini telah ditemukan di beberapa negara di Benua Eropa misalnya Spanyol, Perancis dan Swiss. Heritage Daily melaporkan hanya ada 30 mangkuk serupa yang ada.


Kepada Polish Press Agency (PAP) Michal Sip mengatakan mangkuk ini merupakan penemuan kedua dari jenisnya yang dari daerah sebelah timur garis pegunungan Alpen. Jenis mangkuk tersebut lebih banyak diketahui dari wilayah utara Jerman, Skandinavia dan Denmark karena diproduksi di sana.

Wadah atau bejana dari emas terkait dengan budaya Urnfield, masyarakat prasejarah yang menyebar ke seluruh benua Eropa mulai abad ke-12 SM. Mereka mendapat nama ini dari ritual pemakamannya yang menempatkan abu dalam guci dan mengubur wadahnya di ladang.

Selain mangkuk emas matahari ini, para ahli juga menemukan sekitar 500 benda perunggu, tembikar tanah liat dan artefak lainnya dari situ ini. Tampaknya, pemukiman prasejarah ini cukup besar.

“Ada banyak temuan berharga dalam bentuk benda perunggu dan emas yang unik di bagian Eropa ini dan begitu juga fakta bahwa pemukiman di Ebreichsdorf begitu besar,” kata Dr. Michal Sip kepada Polish Press Agency.

Setelah ditemukannya barang-barang tersebut, pemerintah Austria turun tangan untuk memastikan keamanan artefak. Mangkuk emas ini akan segera dipamerkan di Museum Kunsthistorisches, Wina. Kepada Remonews, Christoph Bazil, presiden Kantor Monumen Federal Austria menuturkan kekagumannya.

“Penemuan harta karun yang tersembunyi 3.000 tahun yang lalu sangat spektakuler. (Kami) segera menempatkan mangkuk emas yang didekorasi dengan mewah, spiral emas dan sisa-sisa kain tentu emas di bawah perlindungan karena kepentingannya di tingkat Eropa. Penggalian arkeologi di Ebreichsdorf tercatat dalam sejarah dengan harta emas ini,” ungkap Christoph Bazil.

Sementara itu, Franz Bauer selaku direktur OBB-Infrastuktur AG dalam perbincangannya dengan noe.ORF.at mengatakan dengan ditemukannya mangkuk emas ini menjadi tanda bahwa kawasan itu memiliki hubungan perdagangan intensif dengan pemukiman Eropa lainnya. Mangkuk diduga dibuat di tempat lain dan dibawa ke Ebreichsdorf.

Diketahui para arkeolog menemukan artefak ini pada tahun 2020. Namun, pihak berwenang memunturkan untuk menunda publikasi temuan ini sampai analisis yang lebih terperinci selesai. Penggalian di Ebreichsdorf, Austria masih akan terus dilakukan selama enam bulan ke depan.

Saturday, May 28, 2022

Temuan Rahang Singa, Diduga Buruan Raja Anitta 4.000 Tahun Lalu

Proses penggalian di Kültepe, Turki masih terus berlanjut, Situs ini merupakan titik awal sejarah di Anatolia, selama penggalian ditemukan tulang rahang singa berusia 4.000 tahun. Ini merupakan pertama kalinya tulang rahang singa ditemykan di Kültepe.

Dilansir dari Arkeonews, Fikri Kulakoğlu dari Fakultas Bahasa, Sejarah-Geografi dan Arkeologi Universitas Ankara mengatakan di tahun 2021 ini mereka menemukan banyak tulang hewan dan tempat penyimpanan dari kayu berukuran besar di ruang bawah tanah sebuah bangunan di wilayah tersebut. Adapun tulang belulang hewan yang ditemukan antara lain, singa, beruang, domba gunung, rusa dan babi hutan.

“Tulang-tulang ini ditemukan dalam jumlah banyak. Semua tulang hewan ini temasuk dalam hewan yang besar dan liar,” ujar Fikri kepada Anadolu Agency.

“Untuk pertama kalinya kami menemukan dua tulang rahang singa dari dua singa yang berbeda, (tulang) beruang yang sangat besar dan tulang dari rusa besar pada masa itu di Anatolia,” lanjutnya.

Langkah berikutnya yang akan dilakukan adalah memeriksa tulang-tulang tersebut. Para ahli meyakini kalau hewan-hewan itu dibesarkan di wilayah Anatolia. Hewan-hewan tinggal di sekitar Erciyes atau di area pegunungan hingga ke Sivas.

“Tidak ada tulang singa berusia 4.000 tahun ditemukan di area lain. Memang ada tulang-tulang (singa) dari beberapa juta tahun lalu, tapi dua tulang rahang singa ini merupakan salah satu bukti keberadaan manusia paling awal,” jelasnya.

Fikri Kulakoğlu menghubungkan penemuan ini dengan salah satu kisah. Ada sebuah tablet atau lempengan yang digunakan sebagai prasasti ditemukan di Boğazköy bernama tablet Anitta.


“Menurut tablet ini seorang raja bernama Anitta merebut Nesha dengan ayahnya, dan mereka tidak menyentuh siapapun. Mereka bahkan membangun istana dan kuil. Tulang-tulang ditemukan di area istana dan kuil,” cerita Prof. Dr. Fikri Kulakoğlu.

Dalam prasasti tersebut, dituliskan pula bahwa sang raja pergi berburu. Prasasti ini sendiri diduga ditulis oleh Raja Anitta.

“(Tertulis) ‘Saya berburu dan membawa kembali lebih dari 100 hewan, termasuk dua singa, macan tutul, macan kumbang, beruang, rusa dan hewan liar’. Ini (situs penemuan) adalah area tepat di sebelah kuil,” tuturnya.

“Tentu saja kami tidak yakin sepenuhnya bahwa tulang-tulang ini terkait dengan cerita tersebut, tetapi kemungkinan besar memang demikian. Karena ada bekas luka di antara tulang binatang yang kami temukan, jadi (hewan-hewan) ini dibawa dengan berburu,” pungkas Prof. Dr. Fikri Kulakoğlu.


Masih terkait dengan tablet Anitta, seperti dikutip dari World History, teks yang tertulis di tablet tanah liat ini adalah dokumen pertama yang ditulis dalam Bahasa Het. Teks ini merupakan salinan dari teks asli yang ditulis pada masa Periode Kekaisaran Het. Anitta merupakan putra dari Pithana dan merupakan raja kota Kussara, yang lokasinya masih belum diketahui.

Kültepe yang juga dikenal dengan nama Kanesh atau Nesha merupakan situs arkeologi yang terletak di Provinsi Kayseri, Turki. Dikutip dari laman UNESCO, tempat ini merupakan ibu kota Kerajaan Kanesh kuno dan pusat jaringan kompleks koloni perdagangan Asyur pada milenia ke-dua SM.

Berada tepat di kaki Gunung Erciyes dan di dataran yang subur, Kültepe juga menjadi pusat utama budaya dan perdagangan antara Anatolia, Suriah dan Mesopotamia pada akhir milenum ke-tiga SM dan khususnya selama kuartal pertama milenium ke-dua SM. Situs Kültepe terbagi dalam dua bagian, anak bukit atas dan kota di bagian yang lebih rendah.

Thursday, May 26, 2022

Terpecahkan, Misteri Mumi Menjerit dari Mesir Kuno Ini Bikin Merinding


Misteri 'The Screaming Mummy' alias mumi menjerit peninggalan Mesir Kuno akhirnya terungkap. Berbeda dengan penemuan mumi biasanya, mumi satu ini memang menarik banyak perhatian orang. Pasalnya, mimik wajahnya tampak sekarat dalam penderitaan sebelum mati.

Dikutip dari artikel yang ditayangkan The Sun pada 11 Februari 2018 silam, para arkeolog terkejut mendapati wajah mumi seakan berteriak kesakitan. Namun kini semua pertanyaan tersebut terjawab.

Pangeran Pentawere adalah sosok dibalik mumi tersebut, yang merupakan seorang pria diduga berhasil untuk membunuh ayahnya sendiri, Firaun Ramses III.

Setelah misinya berhasil, kemungkinan Pangeran Pentawere mengakhiri hidupnya sendiri setelah diadili. Fosil mumi tersebut kini dipamerkan di Museum Mesir di Kairo.

Mumi Pentawere, yang dikenal sebagai mumi menjerit, tidak dimumikan dengan benar. Tidak ada cairan pembalseman yang digunakan, dan tubuhnya dibiarkan menjadi mumi secara alami. Dengan mulut ternganga dan otot-otot wajahnya tegang untuk membuatnya tampak seolah-olah mumi itu berteriak.

Menurut laporan Live Science, tidak dijelaskan apakah wajahnya yang seperti menjerit karena proses alami atau dipaksakan. Bahkan, jasadnya dimakamkan dengan balutan kulit domba yang di mana dalam kebudayaan Mesir Kuno diyakini sebagai material kotor secara ritual.

Papirus kuno bernama Papirus Yudisial Turin, mengungkap kisah pembunuhan Ramesses III oleh putranya sendiri yang kini menjadi mumi itu. Berdasarkan studi pada tahun 2012, sang raja yang berkuasa dari 1184-1155 SM, diketahui tewas akibat luka sayatan di lehernya, kemungkinan dalam upaya pembunuhan yang diatur oleh Pentawere.


Para ilmuwan juga melakukan analisis genetik, yang membuktikan bahwa mumi yang menjerit itu adalah putra Ramses III. Berdasarkan perawatan penguburan mumi yang tidak biasa, para peneliti mengkonfirmasi bahwa itu kemungkinan besar ialah mumi Pentawere.

Papirus Yudisial Turin mengungkap bahwa mereka yang membantu Pentawere dalam pembunuhan itu turut dihukum. Dalam proses peradilan, turut diadili perwira militer, pejabat sipil, dan para gundik sang firaun.

Justru, Pentawere diduga turut dibantu oleh ibunya yang bernama Tiye dan merupakan salah satu istri sang firaun. Proses peradilan sendiri disaksikan oleh pewaris sah Ramesses III, Ramesses IV.

Lebih lanjut, papirus yudisial mengatakan bahwa Pangeran Pentawere diadili karena dia telah berkolusi dengan Tiye, ibunya, ketika dia merencanakan masalah dengan para wanita gundik sang firaun.

Saksi mata yakni para pembantu firaun, membuat Pentawere dinyatakan bersalah. Meski demikian, bagaimana Pentawere mengakhiri hidupnya masih jadi perdebatan di antara para ilmuwan.

“Bagaimana tepatnya Pentawere bunuh diri adalah bahan perdebatan di antara para sarjana, dengan keracunan dan gantung (atau kombinasi keduanya) umumnya dianggap sebagai metode yang paling mungkin,” kata papirus itu.

Sementara teori populer mengatakan mumi tersebut adalah Pangeran Pentewere, putra Firaun Ramses III dan salah satu istrinya, Tiye. Tapi teori terbaru meragukan penjelasan itu.



Dr Bob Brier, seorang arkeolog di University of Long Island di New York yang telah memeriksa mayat tersebut. "Dua kekuatan bekerja pada mumi ini: satu untuk menyingkirkannya dan yang lain untuk mencoba dan melestarikannya," ujarnya.

Dr Zahi Hawass dari Dewan Tertinggi Kepurbakalaan Mesir percaya bahwa mumi itu adalah seorang pangeran yang mempermalukan keluarganya yang dikuburkan bersama bangsawan lain tetapi ditutupi kulit domba.

“Dalam pikiran orang Mesir kuno, menutupi dengan kulit domba berarti dia tidak bersih, dia melakukan sesuatu yang buruk dalam hidupnya,” papar Dr Hawass.

“Kami belum pernah melihat mumi seperti ini, menderita. Itu tidak normal, dan itu memberi tahu kami sesuatu terjadi, tetapi kami tidak tahu persis apa,” sambungnya.

Sebagai informasi, mumi yang mendapat julukan sebagai mumi menjerit ini sebenarnya sudah ditemukan lebih seabad yang lalu yakni pada 1881 di Deir el-Bahari, sebuah kompleks makam di seberang Sungai Nil.

Wednesday, May 25, 2022

Penelitian Terbaru, Terdapat Air Melimpah di Kerak Planet Ceres


Para astronom dari Planetary Science Institute melaporkan adanya kandungan air es yang melimpah di kerak Planet Ceres. Para peneliti telah mendeteksi peningkatan konsentrasi hidrogen di dalam dan sekitar kawah Occator, yang merupakan titik paling terang dan menonjol di Ceres.

“Planet kerdil Ceres, benda terbesar di sabuk asteroid, kaya akan air,” kata Dr. Tom Prettyman, ilmuwan senior di Planetary Science Institute, dan rekan-rekannya, seperti dilansir sci-news.

Planet Ceres adalah planet katai atau kerdil yang merupakan satu-satunya planet katai di tata surya. Itu menjadikannya sebagai objek terbesar di sabuk asteroid, wilayah yang terletak kira-kira antara orbit planet Mars dan Jupiter. Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal Geophysical Research Letters.

Para peneliti menggunakan data resolusi spasial tinggi yang dikumpulkan oleh Gamma Ray and Neutron Detector (GRaND) di atas pesawat ruang angkasa Dawn milik Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA. Dawn yang diluncurkan pada 27 September 2007 memang bertujuan untuk menjalankan misi mempelajari protoplanet Vesta dan planet kerdil Ceres di wilayah sabuk asteroid.


Para peneliti menjelaskan, struktur interior rata-rata Ceres terdiri dari mantel berbatu dan kerak setebal 25 mil atau sekitar 40 km. Permukaannya didominasi oleh sisa-sisa beku dari lautan global kuno.

Berdasarkan reologi konstrain, untuk mengamati aliran materi terutama dalam kondisi cair, peneliti menemukan bahwa kerak planet Ceres sangat volatil. Artinya sangat mudah berubah-ubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.

Kerak Ceres mengandung air, filosilikat, garam, dan kemungkinan hidrat klatrat (gas hidrat). Kandungan air es di kerak Ceres, dapat secara bertahap menyublim sebagai respon terhadap perubahan permukaan oleh sinar matahari.

Menurut peneliti, karena sumbu rotasi Ceres hampir tegak lurus terhadap sinar matahari, es telah surut ke kedalaman yang lebih besar di ekuator daripada di wilayah kutubnya. "Kami berhipotesis bahwa dampak dapat membawa air es dari kerak luar ke permukaan, mengisi regolith dengan es," tambah mereka.

Regolith adalah bagian atas permukaan planet Ceres yang menyelimuti batuan di bawahnya. Dengan demikian, distribusi air es makin dekat ke permukaan di beberapa desimeter atas regolith seperti yang dideteksi oleh GRaND.

Hal itu, kata peneliti, dapat terjadi baik oleh tumbukan besar dan sublimasi yang didorong oleh insolasi jangka panjang. “Kami menguji hipotesis ini dengan data GRaND resolusi spasial tinggi yang diperoleh dalam fase misi terakhir Dawn,” kata Dr. Prettyman.



Spektrometer neutron GRaND mendeteksi peningkatan konsentrasi hidrogen di meter terluar permukaan Occator, kawah kompleks muda berdiameter 56 mil atau sekitar 90 km yang terletak di 19,82 °U di mana es di dekat permukaan diluar perkiraan. Para peneliti mendeteksi kelebihan hidrogen berupa air es.

Hasilnya, dikonfirmasi bahwa kerak luar Ceres kaya es dan es air dapat bertahan dalam tumbukan ejecta pada permukaan es yang tidak berudara. “Kami pikir es telah bertahan di bawah permukaan yang dangkal selama kira-kira 20 juta tahun setelah pembentukan Occator,” katanya.

Temuan tersebut memperkuat konsensus yang muncul bahwa Ceres adalah objek yang berbeda, di mana es terpisah dari batuannya untuk membentuk kulit terluar es dan lautan sub kerak di planet Ceres.

Benda langit yang lebih kecil dan kaya air, termasuk meteorit chondrite berkarbon, mungkin tidak akan mengalami diferensiasi. Jadi mungkin, menurut peneliti, temuan tersebut berimplikasi pada evoluasi objek badan es, kecil dan besar.

"Lebih luas lagi, sebagai dunia lautan, Ceres (mungkin) bisa dihuni dan oleh karena itu menjadi target yang menarik untuk misi masa depan,” pungkasnya.

Tuesday, May 24, 2022

Studi Terbaru Singkap Dampak Letusan Gunung Toba 74.000 Tahun Lalu


Erupsi super atau letusan dahsyat Gunung Toba di Indonesia sekitar 74.000 tahun lalu merupakan letusan gunung berapi terbesar dalam 2 juta tahun terakhir. Namun, selama bertahun-tahun, dampak dari letusan gunung berapi besar di Sumatra Utara itu terhadap iklim dan evolusi manusia masih belum jelas.

Sebuah studi baru mencoba mengungkap dampak letusan besar tersebut. Menurut studi baru ini, letusan gunung berapi besar di Indonesia itu kemungkinan menyebabkan gangguan iklim yang parah di banyak wilayah di dunia. Namun begitu, populasi manusia purba terlindung dari efek terburuknya.

Studi yang digarap tim peneliti internasional ini dipimpin oleh Rutgers University di Amerika Serikat. Laporan temuan studi tersebut telah terbit di jurnal PNAS pada 20 Juli 2021.


“Kami dapat menggunakan sejumlah besar simulasi model iklim untuk menyelesaikan apa yang tampak seperti paradoks,” ujar Benjamin Black, asisten profesor di Departemen Ilmu Bumi dan Planet di Rutgers University-New Brunswick yang menjadi penulis utama studi tersebut.

“Kami tahu letusan ini terjadi dan pemodelan iklim masa lalu telah menyarankan konsekuensi iklim bisa parah, tetapi catatan arkeologi dan paleoklimat dari Afrika tidak menunjukkan respons yang begitu dramatis," jelas Black, sebagaimana dikutip dari situs resmi Rutgers University.

“Hasil kami menunjukkan bahwa kami mungkin tidak mencari di tempat yang tepat untuk melihat respons iklim. Afrika dan India relatif terlindung, sedangkan Amerika Utara, Eropa, dan Asia menanggung beban pendinginan,” papar Black.


“Salah satu aspek yang menarik dari hal ini adalah bahwa (manusia purba) Neanderthal dan Denisovan tinggal di Eropa dan Asia pada saat ini, jadi makalah kami menyarankan untuk mengevaluasi efek letusan Toba pada populasi tersebut dapat memerlukan penyelidikan di masa depan.”

Para peneliti menganalisis 42 simulasi model iklim global di mana mereka memvariasikan besarnya emisi belerang, waktu tahun letusan, keadaan iklim, dan ketinggian injeksi belerang untuk membuat penilaian probabilistik dari berbagai gangguan iklim yang mungkin disebabkan oleh letusan Toba. Pendekatan ini memungkinkan tim menjelaskan beberapa hal yang sebelumnya tidak diketahui terkait dengan letusan tersebut.

“Dengan menggunakan pendekatan probabilistik, kami bertujuan untuk memahami kemungkinan bahwa beberapa daerah tidak terlalu terpengaruh oleh Toba, mengingat berbagai perkiraan ukuran dan waktunya, selain kurangnya pengetahuan kami tentang keadaan iklim yang mendasarinya,” kata Black.


Hasil studi ini menunjukkan bahwa kemungkinan ada variasi regional yang signifikan dalam dampak iklim akibat letusan Toba. Simulasi dalam studi ini memprediksi terjadinya pendinginan di belahan bumi utara setidaknya 4 derajat Celsius, dengan pendinginan regional setinggi 10 derajat Celsius tergantung pada parameter model.

Sebaliknya, bahkan di bawah kondisi letusan Toba yang paling parah, pendinginan di belahan bumi selatan --termasuk di wilayah yang dihuni oleh manusia purba- tidak mungkin melebihi 4 derajat Celsius. Para peneliti meyakini suhu di belahan bumi selatan tak mungkin turun lebih dari 4 derajat Celsius, meskipun wilayah-wilayah di Afrika selatan dan India mungkin telah mengalami penurunan curah hujan saat tingkat emisi belerang di udara tinggi akibat letusan Toba tersebut.

Hasil studi ini sejalan dengan bukti arkeologi independen yang menunjukkan bahwa letusan Toba memiliki dampak pada perkembangan spesies hominid di Afrika. Menurut para peneliti, pendekatan simulasi ensemble mereka ini dapat digunakan untuk lebih memahami letusan-letusan eksplosif lainnya di masa lalu dan masa depan.


“Hasil kami merekonsiliasi distribusi simulasi dampak iklim dari letusan dengan catatan paleoklimat dan arkeologi,” tulis para peneliti dalam laporan studi tersebut.

“Pandangan probabilistik gangguan iklim dari letusan super terbaru di Bumi ini menggarisbawahi distribusi dampak sosial dan lingkungan yang diperikaran tidak merata dari letusan eksplosif yang sangat besar di masa depan,” tambah mereka.

Studi ini melibatkan para peneliti dari National Center for Atmospheric Research, University of Leeds, dan University of Cambridge. Selain itu, penelitian ini juga didukung oleh National Center for Atmospheric Research dan National Science Foundation di Amerika Serikat.

Monday, May 16, 2022

Petroglif Peterborough, Diyakini Jadi Pintu Gerbang ke Dunia Roh


Pada zaman prasejarah sebelum manusia mengenal tulisan, berbagai cara dilakukan manusia prasejarah untuk menulis informasi yang mereka peroleh dari alam sekitar. Salah satunya dengan metode petroglyph. Jadi, petroglyph adalah gambar yang dipahat diatas batu-batu baik di dalam maupun diluar goa, dengan cara memahat atau dengan cara membubuhkan zat tertentu di atas batu.

Sebagai informasi, petroglyphs Peterborough adalah koleksi terbesar pahatan batu kuno di seluruh Amerika Utara dan terdiri atas lebih dari 900 gambar yang diukir pada batu kapur kristal di dekat Peterborough di Ontario, Kanada.

Petroglyphs Peterborough kini ditahbiskan sebagai Situs Bersejarah Nasional Kanada pada 1976. Penduduk setempat percaya bahwa imaji ini merupakan pintu gerbang ke dunia roh dan bahwa roh benar-benar berbicara kepada mereka dari lokasi ini.

Mereka menyebutnya Kinoomaagewaapkong, yang diterjemahkan menjadi "batu yang mengajar". Petroglif diukir menjadi satu lempengan batu kapur kristal yang panjangnya 55 meter dan lebar 30 meter. Sekitar 300 gambar adalah bentuk yang dapat diuraikan, termasuk manusia, dukun, hewan, simbol matahari, bentuk geometris, dan perahu.

Para arkeolog meyakini bahwa penduduk asli Algonkia mengukir petroglif antara tahun 900 dan 1400. Seni cadas yang dibuat masyarakat prasejarah ini tidak bisa menentukan penanggalan secara akurat karena kurangnya bahan karbon dan artefak.

Biasanya, penanggalan yang ditemukan di dekat situs hanya mengungkapkan informasi tentang orang terakhir yang berada di sana. Mereka bisa ribuan tahun lebih tua dari yang diizinkan para arkeolog.
Ada beberapa misteri lain seputar petroglif yang luar biasa ini. Ukiran perahu tidak memiliki kemiripan dengan perahu tradisional penduduk asli Amerika. Seorang profesor Harvard percaya bahwa petroglif adalah prasasti yang ditinggalkan oleh seorang raja Nordik bernama Woden-lithi dan diyakini telah berlayar dari Norwegia menyusuri Sungai St. Lawrence sekitar 1700 SM, jauh sebelum Penjelajahan Viking Greenland.

Kapal lain yang digambarkan dalam petroglif adalah kapal besar dengan dayung dan figur kepala di haluan dan buritan. Ada dayung kemudi besar di buritan, fitur yang diperlukan hanya untuk kapal yang panjangnya 100 kaki atau lebih.

Namun, orang-orang Algonkian yang mendiami wilayah itu tidak pernah menghasilkan sesuatu yang lebih layak daripada kano kulit pohon birch. Para arkeolog berspekulasi bahwa kapal-kapal itu hanyalah gagasan dukun tentang kano ajaib yang menjelajahi alam semesta.

Keunikan lainnya adalah figur kepala di haluan dan buritan yang menyerupai burung. Desain yang sama dapat dilihat pada karya emas repousse Etruscan abad ke-9 SM. Kapal berkepala burung digambarkan 200 tahun sebelumnya, ketika seniman Mesir mengukir gambar mereka ke dinding "Kuil Kemenangan" Firaun Ramses III di Lembah Para Raja.

Namun misteri lain adalah kehadiran di petroglif sosok tinggi atau 'dewa' yang berdiri dengan lengan akimbo dan dengan sinar halo memancar. Seperti diketahui, halo adalah lingkaran sinar putih yang ada pada Matahari. Para ilmuwan berpikir sosok itu mungkin mewakili emas matahari tetapi tidak ada kasus pemujaan matahari yang diketahui di antara penduduk asli wilayah tersebut.

Beberapa sejarawan dan peneliti percaya ada lebih banyak petroglif daripada yang terlihat. Sebagian  berpendapat bahwa mereka sebenarnya adalah peta langit berdasarkan tradisi Eropa dari 3100 SM. Kini, petroglif Peterborough tetap menjadi teka-teki menarik, semacam kode yang kuncinya masih hilang.

Tulang-Tulang 3.000 Tahun Jadi Bukti Tertua Kasus Manusia Digigit Hiu


Sebuah analisis baru mengungkapkan kejadian di balik tulang-tulang berusia 3.000 tahun milik seorang pria. Pria itu tampaknya merupakan korban gigitan hiu dan tulang-tulang itu jadi bukti tertua atas kasus gigitan hiu pada manusia yang pernah ditemukan.

Ada hampir 800 luka yang menggores kerangka pria itu. Tidak adanya tanda-tanda penyembuhan menunjukkan secara intens bahwa serangahn hiu itu berakhir dengan kematian pria tersebut.

Tulang-tulang itu ditemukan dari situs arkeologi gundukan kerang Tsukumo di dekat Laut Pedalaman Seto di Jepang. Tulang-tulang itu awalnya ditemukan dan diangku pada awal abad ke-20. Namun penjelasan atas luka-luka pria itu tetap tidak dapat dijelaskan.

Tulang-tulang itu ditemukan oleh J. Alyssa White dan Rick Schulting, para arkeolog dari University of Oxford di Inggris. Mereka sedang meneliti kekerasan yang terjadi di Jepang prasejarah.

Menggambarkan tulang-tulang yang mereka temukan, keduanya menjelaskan bahwa mereka pada awalnya, "bingung" dengan apa yang bisa diakibatkan oleh setidaknya 790 luka bergigi pada pria ini.

Ada banyak luka pada tulang-belulang pria itu. Namun pria itu dimakamkan di situs pemakaman gundukan kerang Tsukumo, situs pemakaman komunitas, kata para arkeolog sebagaimana dilansir Science Times.

Dalam studi ini para arkeolog meminta penilaian dari George Burgess, seorang ahli biologi kelautan dari Florida Program for Shark Research di Museum Sejarah Alam Florida (Florida Museum of Natural History). Mereka juga meminta catatan pertemuan hiu dengan manusia untuk mengetahui apakah luka pada kerangka pria itu cocok dengan catatan yang ada.

Dengan memeriksa dan menilai luka-luka tersebut, jelas White dan Schulting, pria itu jelas menjadi korban serangan hiu. Pria itu, mereka menjelaskan, mungkin sedang memancing dengan teman-temannya kala itu.

Lebih dari itu, berdasarkan karakter dan distribusi tanda gigi pada kerangka tulang pria tersebut, spesies yang paling mungkin bertanggung jawab memang adalah harimau atau hiu putih. Tidak mungkin bagi para peneliti untuk memastikan satu jenis spesies yang menggigit pria tersebut karena tanda gigitannya cukup banyak, dan gigitan-gigitan itu tumpang tindih sehingga bentuk rahang diagnostik tidak dapat disimpulkan.

Tim peneliti kemudian melakukan penilaian bioarkeologi tulang untuk mengidentifikasi kapan pria malang itu hidup. Mereka juga mengkonfirmasi jenis kelaminnya, dan mengetahui berapa usianya pada saat kematiannya.

Menurut analisis mereka, para peneliti menemukan pria itu masih muda hingga setengah baya saat meninggal. Pria itu diperkirakan hidup pada sekitar tahun 1370 hingga 1010 Sebelum Masehi.

Jenazah pria itu diyakini telah ditemukan tepat setelah pertemuannya dengan hiu dan dimakamkan di pemakaman masyarakatnya. Meskipun serangan hiu itu tampak kejam, para peneliti percaya bahwa pria itu mati cukup cepat, tidak tersiksa berlama-lama akibat serangan brutal hewan laut tersebut.

Mengingat jumlah gigitan yang banyak pada tulang-tulang pria itu, arteri femoralisnya, menurut penelitian tersebut, akan terputus lebih awal, menyebabkan kematian cepat akibat syok hipovolemik. Ini adalah kondisi yang terjadi ketika tubuh dengan cepat kehilangan setidaknya seperlima dari volume darahnya.

Studi ini memberikan pemahaman langka tentang bahaya gaya hidup masyarakat pemburu-pengumpul. Studi berjudul "3000-year-old shark attack victim from Tsukumo shell-mound, Okayama, Japan" ini telah terbit dalam Journal of Archaeological Science: Reports. Studi yang mengulas serangan hiu yang dialami pria nahas itu menggarisbawahi tingginya risiko dari memancing dan menyelam untuk mengambil kerang di laut pada masa itu.

Sunday, May 15, 2022

Es Tertua dari Pegunungan Alpen Menyimpan 10.000 Tahun Memori Iklim


Para peneliti telah berhasil mengekstraksi es tertua dari wilayah Pegunungan Alpen. Es tersebut siap disimpan di Antarktika.
Apa yang membuat penyelamatan dan penyimpanan es ini begitu penting adalah sejarah iklim yang dicatatnya. Inti es dari Pegunungan Alpen berasal dari 10.000 tahun yang lalu, memberi para peneliti wawasan yang tak ternilai tentang bagaimana lingkungan telah berubah selama rentang waktu itu.

Langkah ini merupakan bagian dari proyek internasional yang sedang berlangsung yang disebut Ice Memory. Proyek ini bertujuan untuk melestarikan artefak alami ini sebelum pemanasan global dan pencairan es menyebabkan mereka menghilang. Ekstraksi es di Pegunungan Alpen adalah momen penting untuk proyek ini.

"Misi itu sukses: tim memperoleh dua inti es lebih dari kedalaman 80 meter [262 kaki] dari situs yang sangat penting, yang berisi informasi tentang iklim 10.000 tahun terakhir," kata Carlo Barbante, seorang profesor kimia analitik dari Ca' Foscari University of Venice di Italia, seperti diberitakan Science Alert.

"Tim bekerja dengan baik meskipun kondisi cuaca buruk, dengan hembusan angin dan salju yang kuat. Sekarang arsip berharga dari sejarah iklim Pegunungan Alpen ini akan dilestarikan untuk masa depan."

Ekstraksi es tersebut membutuhkan waktu lima hari bagi para peneliti pada ketinggian 4.500 meter atau 14.764 kaki di gletser Colle Gnifetti. Total ada empat inti es yang diambil dari wilayah Pegunungan Alpen tersebut. Tim tersebut berbasis di kamp penelitian ilmiah Capanna Margherita yang berusia 128 tahun, yang tertinggi di Eropa.


Gletser tempat es diambil adalah geltser terbesar kedua di wilayah Alpen. Luas keseluruhan gletser tersebut adalah sekitar 40 kilometer persegi atau 15,4 mil persegi. Para ilmuwan memperkirakan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, gletser itu telah kehilangan sekitar 40 persen dari total luasnya.

Dengan kata lain, tabung-tabung es ini –yang diperkirakan tidak tersentuh oleh pencairan selama sepuluh abad– telah diekstraksi tepat pada waktunya. Ini adalah misi ketiga yang dilakukan Ice Memory di Pegunungan Alpen.


"Jika kita kehilangan arsip-arsip seperti ini, kita akan kehilangan ingatan tentang bagaimana manusia telah mengubah atmosfer," kata Fabio Trincardi, direktur Department of Earth System Science and Environmental Technologies di Italian National Research Council.

"Mari kita coba melestarikannya untuk generasi mendatang yang akan mempelajarinya ketika kita tidak lagi di sini."


Diluncurkan pada tahun 2015 oleh para ahli glasiologi Prancis, Italia, dan Swiss, Ice Memory telah bermitra dengan para ilmuwan dan kelompok penelitian dari seluruh dunia dalam upaya melestarikan inti-inti es untuk studi di masa mendatang. Penelitian selanjutnya dari proyek ini akan tersedia dalam database akses terbuka.

Organisasi Ice Memory memperkirakan bahwa pada akhir abad ini, kita tidak akan memiliki lagi gletser yang tersisa di bawah 3.500 meter atau 11.483 kaki di Pegunungan Alpen dan di bawah 5.400 meter atau 17.717 kaki di Andes. Jadi akan ada banyak bukti ilmiah yang bisa hilang dari sana akibat pemanasan global.

Para peneliti mengharapkan bahwa pada tahun 2022 fasilitas penyimpanan gua salju Antartika akan selesai. Fasilitas penyimpanan es ini terletak di stasiun penelitian Concordia Prancis-Italia. Dengan suhu rata-rata minus 54 derajat Celsius atau minus 65 derajat Fahrenheit, gua ini tidak memerlukan pasokan energi dan harus aman dari pemanasan di masa depan yang terjadi di seluruh bagian planet Bumi ini.

"Iklim kita dalam keadaan darurat," kata Tiziana Lippiello, Rektor di Ca' Foscari University of Venice. "Untuk menghadapi krisis ini, kita perlu memahami penyebabnya dan menemukan solusi yang mungkin, sehingga penelitian dan pengajaran ini diperlukan."

Saturday, May 14, 2022

Ahli Paleontologi Temukan Fosil Archaeocyon, Anjing Purba yang Langka

Hubungan persahabatan antara anjing dan manusia telah terjalin sejak ribuan tahun silam. Sekitar 14.000 tahun lalu, manusia pertama menyeberangi Selat Bering ke Amerika Utara bersama anjing peliharaan yang digunakan untuk berburu.

Namun, sebelum anjing-anjing itu tiba, ada spesies pemangsa seperti anjing yang berburu di padang rumput dan hutan Amerika. Dilansir dari Phys, ditemukan fosil langka dan hampir lengkap milik spesies yang telah lama punah oleh ahli paleontologi di San Diego Natural History Museum.

Fosil ini milik sekelompok hewan yang disebut Archaeocyon dan memiliki arti anjing purba. Fosil berada dalam dua bongkahan besar batu pasir dan batu lumpur yang digali pada 2019. Kala itu sedang dilakukan proyek konstruksi di daerah Otay Ranch, San Diego.

Sisa-sisa fosil masih menunggu identifikasi lebih lanjut oleh para peneliti. Temuan fosil sendiri menjadi keuntungan bagi para ilmuwan karena fosil yang ada di koleksi museum tidak lengkap dan jumlahnya terbatas. Sisa-sisa dari hewan purba ini akan membantu tim mengetahui lebih dalam tentang mamalia anjing purba yang hidup puluhan juta tahun lalu.

Fosil Archaeocyon berasal dari Zaman Oligosen Akhir dan diyakini berusia 24 hingga 28 juta tahun. Temuan ini memberi ilmuwan di San Diego Natural History Museum beberapa potongan teka-teki evolusi.

Tiga tahun lalu, Pat Sena dari San Diego Natural History Museum mengamati proyek di Otay dan melihat sesuatu yang tampak seperti fragmen tulang putih kecil menonjol dari beberapa batuan yang digali. Dia menandai bebatuan dengan spidol hitam dan memindahkannya ke museum, di mana pekerjaan ilmiah segera terhenti selama hampir dua tahun karena pandemi.

Pada 2 Desember, asisten kuratorial, Amanda Linn mulai menggarap dua batu besar itu. Menggunakan pahat kecil, alat pemotong serta kuas, secara bertahap mengupas lapisan batu.

"Setiap kali saya menemukan tulang baru, gambarannya semakin jelas. Saya akan berkata, 'Oh, lihat, di sinilah bagian ini cocok dengan tulang ini, di sinilah tulang belakang memanjang ke kaki, di sinilah sisa tulang rusuk berada’” ujar Linn.


Peneliti pasca-doctoral Ashley Poust menjelaskan bahwa ketika tulang pipi dan gigi fosil terlihat, jelas bahwa itu adalah spesies canid (dari canidae) purba. Poust merupakan salah satu dari tiga ahli paleontologi internasional yang menumumkan penemuan predator baru seperti Diegoaelurus, kucing bergigi pedang dari Zaman Eosen.

Kucing purba hanya memiliki gigi untuk merobek daging, sedangkan canid omnivora memiliki gigi pemotong di depan untuk membunuh dan memakan mamalia kecil. Lalu gigi seperti geraham yang lebih rata di belakang mulut mereka, digunakan untuk menghancurkan tanaman, biji-bijian dan buah beri.

Campuran gigi dan bentuk tengkoraknya membantu kurator paleontologi, Tom Deméré, mengidentifikasi fosil tersebut sebagai Archaeocyons. Fosil baru sepenuhnya utuh kecuali sebagian dari ekornya yang panjang.




Beberapa tulangnya telah bercampur aduk, mungkin sebagai akibat dari gerakan bumi setelah hewan itu mati. Tetapi tengkorak, gigi, tulang belakang, kaki, pergelangan kaki dan jari kakinya lengkap, memberikan banyak informasi tentang perubahan evolusioner Archaeocyon.

Poust mengatakan panjang tulang pergelangan kaki fosil terhubung ke tendon Achilles menunjukkan bahwa Archaeocyons telah beradaptasi untuk mengejar mangsanya dalam jarak jauh melintasi padang rumput terbuka. Diyakini ekornya yang kuat dan berotot mungkin digunakan untuk keseimbangan saat berlari dan berbelok tajam. Ada juga indikasi dari kakinya bahwa ia mungkin hidup atau memanjat pohon.

Secara fisik, Archaeocyon seukuran rubah abu-abu saat ini, dengan kaki panjang dan kepala kecil. Hewan itu berjalan dengan jari kakinya dan memiliki cakar yang tidak bisa ditarik. Bentuk tubuhnya lebih mirip rubah sangat berbeda dari spesies punah yang dikenal sebagai Hesperocyons, yang lebih kecil, lebih panjang, memiliki kaki lebih pendek dan menyerupai musang modern.

Setelah fosil Archaeocyon sebagian diidentifikasi pada bulan Februari, Deméré meminta Linn berhenti mengerjakan fosil tersebut, meninggalkannya sebagian tertanam di dalam batu. Dia tidak ingin mengambil risiko kerusakan pada tengkorak sampai dapat dipelajari lebih lanjut

Friday, May 13, 2022

Mengungkap Suhu di Atmosfer Neptunus, Lebih Dingin Dari yang Kita Duga


Penelitian baru yang dipimpin oleh ilmuwan luar angkasa di University of Leicester telah mengungkapkan bagaimana suhu di atmosfer Neptunus secara tak terduga berfluktuasi selama dua dekade terakhir. Laporan tersebut telah dipublikasikan di The Planetary Science Journal dengan judul "Subseasonal Variation in Neptune's Mid-infrared Emission" baru-baru ini.

Pada penelitian tersebut, para tim peneliti internasional, termasuk ilmuwan dari Leicester dan Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA menggunakan pengamatan dalam panjang gelombang inframerah-termal di luar spektrum cahaya tampak. Pengamatan tersebut secara efektif dapat merasakan panas yang dipancarkan dari atmosfer planet.

Tim peneliti menggabungkan semua gambar inframerah termal Neptunus yang ada yang dikumpulkan dari beberapa observatorium selama hampir dua dekade. Ini termasuk Teleskop Sangat Besar Observatorium Eropa Selatan dan teleskop Gemini Selatan di Chili, bersama dengan Teleskop Subaru, Teleskop Keck, dan teleskop Gemini Utara, semuanya di Hawai'i, dan spektrum dari Teleskop Luar Angkasa Spitzer NASA.

Dengan menganalisis data, para peneliti dapat mengungkapkan gambaran yang lebih lengkap tentang tren suhu Neptunus daripada sebelumnya. Suhu di Neptunus ternyata lebih dingin dari yang kita duga selama ini.

Namun yang mengejutkan para peneliti, kumpulan data kolektif ini menunjukkan penurunan kecerahan termal Neptunus sejak pencitraan termal yang andal dimulai pada tahun 2003. Hal itu menunjukkan bahwa suhu rata-rata global di stratosfer Neptunus, lapisan atmosfer tepat di atas lapisan cuaca aktif Neptunus telah turun sekitar 8 derajat celcius (14 derajat fahrenheit) antara tahun 2003 dan 2018.


Dr Michael Roman, Postdoctoral Research Associate di University of Leicester dan penulis utama makalah tersebut, mengatakan bahwa perubahan tersebut tidak terduga. "Karena kami telah mengamati Neptunus selama awal musim panas selatan, kami memperkirakan suhu perlahan-lahan tumbuh lebih hangat, bukan lebih dingin," kata Roman dalam rilis media University of Leicester.

Neptunus memiliki kemiringan sumbu, sehingga mengalami musim, sama seperti Bumi. Namun, mengingat jaraknya yang sangat jauh dari Matahari, Neptunus membutuhkan waktu lebih dari 165 tahun untuk menyelesaikan orbit di sekitar bintang induknya. Hal itu menyebabkan musimnya berubah perlahan, masing-masing berlangsung lebih dari 40 tahun Bumi.


Dr Glenn Orton, Ilmuwan Riset Senior di JPL dan rekan penulis studi ini, mencatat bahwa data mereka mencakup kurang dari setengah musim Neptunus. "Jadi tidak ada yang mengharapkan untuk melihat perubahan besar dan cepat," kata Orton.


Namun, di kutub selatan Neptunus, data mengungkapkan perubahan dramatis yang berbeda dan mengejutkan. Kombinasi pengamatan dari Gemini Utara pada 2019 dan Subaru pada 2020 mengungkapkan bahwa stratosfer kutub Neptunus menghangat sekitar 11 derajat celsius antara 2018 dan 2020.

Hal tersebut membalikkan tren pendinginan rata-rata global sebelumnya. Pemanasan kutub seperti itu belum pernah diamati di Neptunus sebelumnya. Penyebab perubahan suhu stratosfer yang tak terduga ini saat ini tidak diketahui, dan hasilnya menantang pemahaman para ilmuwan tentang variabilitas atmosfer Neptunus.

"Variasi suhu mungkin terkait dengan perubahan musiman dalam kimia atmosfer Neptunus, yang dapat mengubah seberapa efektif atmosfer mendingin," Roman menjelaskan.

"Tetapi variabilitas acak dalam pola cuaca atau bahkan respons terhadap siklus aktivitas matahari 11 tahun mungkin juga berpengaruh."

Siklus matahari 11 tahun yang ditandai dengan variasi periodik dalam aktivitas Matahari dan bintik matahari sebelumnya telah disarankan untuk mempengaruhi kecerahan tampak Neptunus. Dan studi baru mengungkapkan kemungkinan tersebut, tetapi tentatif, korelasi antara aktivitas matahari, suhu stratosfer, dan jumlah awan cerah terlihat di Neptunus.

Pengamatan lanjutan dari suhu dan pola awan diperlukan untuk menilai lebih lanjut kemungkinan hubungan di tahun-tahun mendatang.

Jawaban atas misteri ini mungkin akan lebih banyak lagi didapat dari James Webb Space Telescope (JWST), yang akan mengamati kedua raksasa es, Uranus dan Neptunus, akhir tahun ini.

Leigh Fletcher, Profesor Ilmu Planet di University of Leicester akan memimpin pengamatan tersebut dengan alokasi waktu dari rangkaian instrumen JWST.

"Sensitivitas yang luar biasa dari instrumen inframerah-tengah teleskop ruang angkasa, MIRI, akan memberikan peta kimia dan suhu baru yang belum pernah terjadi sebelumnya di atmosfer Neptunus, membantu mengidentifikasi sifat perubahan baru-baru ini dengan lebih baik," kata Profesor Fletcher, juga rekan penulis dalam penelitian ini.