Ketika semua wilayah pada masa lampau masih menggunakan Sistim Kerajaan, ada sebuah wilayah di dalam negara (kini) Indonesia yang sudah menjadi negara dengan Sistim Republik, jauh sebelum Indonesia berdiri.
Lanfang Republic / Kongsie Lanfang / Lánfāng Gònghéguó:
- Ibukota : Dong Wan Li (kini kecamatan Mandor Kabupaten Landak, KalBar)
- Bahasa : China, Malay.
- Pemerintahan : Presidential Republic.
- Presiden : Low Lan Pak atau Luo Fangbo (1777–1795).
- Era Sejarah : Hindia-Belanda
- Berdiri: 1777
- Runtuh Dijajah Belanda : 1884
Ternyata Kalimantan Barat menyimpan sejarah yang unik. Tak banyak yang tahu bahwa jauh sebelum Republik Indonesia lahir pada tahun 1945, sejak tahun 1777 hingga 1884 sebuah negara bernama Republik Lan Fang / Kongsie Langfong.
Republik Lan Fang (Kongsie Lanfang) adalah nama sebuah negara Hakka (salah satu kelompok Tionghoa Han yang terbesar di Republik Rakyat Tiongkok) yang sudah berbentuk Republk, dimana di wilayah Asia Tenggara pada masa itu masih berupa kerajaan-kerajaan.
Lan Fang didirikan oleh Low Fang Pak atau kadang disebut Luo Fangbo, dan sudah berdiri di Kalimantan Barat tepatnya di Kota Mandor, Kabupaten Landak tidak jauh dari Pontianak (kini ibukota proinsi Kalimantan Barat), sampai akhirnya dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1884, jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.
Barawal Dari Tambang Emas di Wilayah Kalimantan Barat
Kedatangan orang-orang China dari daratan China kewilayah ini adalah atas permintaan sultan-sultan Melayu saat itu yang mendatangkan para pekerja tambang emas dari daratan China.
Mereka di datangkan untuk melakukan pekerjaan pertambangan yang memang memerlukan keahlian, dan kesulitan pekerjaan tambang saat itu hanya dapat dilakukan dengan ketekunan dari orang-orang China. Permintaan pekerja tambang dari China daratan saat itu merupakan satu trend yang berkembang di kerajaan-kerajaan Melayu.
Awalnya dimulai oleh kerajaan Melayu yang ada di Semenanjung Melayu (kini Malaysia). Kemudian meluas ke kerajaan Melayu di pesisir utara dan timur pulau Sumatra, lalu Kerajaan Melayu di Utara Kalimantan yaitu Brunei (pada masa Sultan Omar Ali Saifuddin I) baru kemudian disusul oleh Kerajaan-Kerajaan Melayu yang berada di pesisir wilayah Pulau Kalimantan bagian barat.
Kerajaan Melayu di pesisir barat Pulau Kalimantan adalah pertama mendatangkan pekerja tambang dari daratan China. Ia adalah Panembahan Mempawah yang waktu itu rajanya adalah Opu Daeng Manambung, sekitar tahun 1740.
Kebijakan Panembahan Mempawah ini, kemungkinan atas saran dari adik Opu Daeng Manambung, yaitu Opu Daeng Celak yang kala itu sedang menjabat sebagai Raja Muda di Kesultanan Riau yang telah lebih dahulu mendatangkan pekerja dari China daratan untuk tambang timah di Kesultanan Riau dan berhasil dengan baik.
Sedangkan si Kalimantan barat, saat itu Panembahan Mempawah untuk pertama kali hanya mendatangkan orang-orang China untuk pekerja tambang (emas) hanya berjumlah 20 orang (kemungkinan para pakar mencari emas) yang sebelumnya telah bekerja di Kesultanan Brunei.
Pekerja Cina Mulai Masuk dan Menambang Di Wilayah Kesultanan Sambas
Tak lama setelah periode kedatangan orng-orang China itu, maka didirikanlah pertambangan emas yang dikerjakan oleh orang-orang Cina tersebut, yaitu di daerah Mandor yang saat itu merupakan wilayah Panembahan Mempawah.
Setelah beberapa tahun berjalan mengerjakan tambang emas di Mandor ini, para pakar pencari emas dari Cina ini kemudian mengindikasikan adanya suatu tempat tak begitu jauh dari Mandor yang disinyalir lebih banyak mengandung emasnya.
Namun wilayah itu adalah wilayah kekuasaan dari Kesultanan Sambas yaitu daerah yang bernama Montraduk. Maka kemudian utusan pekerja tambang emas Cina ini menghadap Sultan Sambas mengenai potensi emas di Montraduk ini.
Mendengar hal demikian Sultan Sambas kemudian mengijinkan untuk membuka tambang emas di Montraduk oleh orang-orang Cina dengan syarat bagi hasil yaitu sebagian hasil emas adalah untuk pekerja tambang dari Cina ini, dan sebagian hasil yang lain adalah untuk Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri.
Maka kemudian dibukalah tambang emas di Montraduk pada sekitar tahun 1750, yaitu tambang emas kedua setelah di Mandor. Sungguh diluar dugaan bahwa potensi emas di wilayah Kesultanan Sambas ini sangat melimpah ruah.
Setelah Montraduk, berturut-turut dibuka lagi tambang emas di Seminis, Lara, Lumar yang semuanya di wilayah Kesultanan Sambas dan memberikan hasil emas yang sangat memuaskan. Sebagai dampaknya, gelombang kedatangan orang-orang China semakin melimpah ke wilayah Kalimantan Barat, khususnya ke wilayah Kesultanan Sambas. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian keluarga, sekampung halaman atau sesama kumpulan.
Pada sekitar tahun 1770 Masehi telah ada sekitar lebih dari 20.000 orang-orang Cina pekerja tambang emas di wilayah Kalimantan Barat ini yang sekitar 70 % dari jumlah pekerja tambang emas berada di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk.
Sultan-sultan di Kalimantan Barat yang mendatangkan buruh yang berasal dari China pada abad ke-18 untuk bekerja dalam pertambangan emas atau timah itu, terdapat sejumlah “komunitas pertambangan” (kongsi) yang menikmati beberapa otonomi politik dan Lanfang dikenal oleh sejarah berdasarkan tulisan oleh Yap-Yoen Siong, menantu Kapitan terakhir kongsi Lanfang, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda pada tahun 1885.
Sejarah Kedatangan Low Fang Pak, Pendiri Lan Fang
Low Fang Pak mulai bertualang pada usia 34 tahun. Dia merantau ke Kalimantan Barat saat ramainya orang mencari emas (Gold Rush), dengan menyusuri wilayah Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam kemudian berlabuh di pulau Kalimantan bagian barat (wilayah Kesultanan Sambas) pada usia sekitar 41 tahun, yaitu pada sekitar tahun 1774 – 1775 ke daerah Kongsi yang ada di wilayah Kesultanan Sambas.
Pada Tahun 1776, terdapat empat belas buah Kongsi yang ada di wilayah Kalimantan Barat ini yaitu 12 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk dan 2 buah Kongsi di wilayah Panembahan Mempawah yang berpusat di Mandor
Mereka menyatukan diri dalam wadah lembaga yang bernama Hee Soon yaitu untuk memperkuat persatuan di antara mereka dari ancaman pertempuran antara sesama Kongsi seperti yang telah terjadi antara Kongsi Thai Kong dan Lan Fong pada tahun 1774 yang lalu. Salah satu dari 14 Kongsi itu adalah Kongsi Lanfong yang dihidupkan lagi oleh Lo Fong Pak dengan Lo Fong Pak sendiri yang menjadi ketuanya.
Setahun kemudian yaitu pada tahun 1777, Lo Fong Pak memindahkan lokasi Kongsi Lan Fong ke lokasi lain dimana lokasi Kongsi Lan Fong yang baru ini tidak lagi di wilayah Kesultanan Sambas tetapi adalah di wilayah Panembahan Mempawah yaitu Mandor (Tung Ban Lut).
Walaupun telah mempunyai Kelompok Induk yaitu Hee Soon, Kongsi-Kongsi ini tetap menyatakan tunduk dibawah Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah dimana 12 Kongsi tunduk dibawah naungan Sultan Sambas dan 2 Kongsi tunduk dibawah naungan Panembahan Mempawah.
Namun Kongsi-Kongsi diberi kewenangan untuk mengangkat pemimpin Kongsi dan mengatur pertambangan serta wilayah sekitarnya sesuai dengan lokasi tambangnya (semacam daerah otonomi distrik).
Di Mandor, Lo Fong Pak, Ketua Kongsi Lan Fong kemudian menyatukan orang-orang Hakka yang ada di wilayah Mandor dalam organisasi yang bernama San Shin Cing Fu (karena di wilayah Mandor saat itu juga terdapat orang-orang Cina selain Suku Hakka / Khek yaitu orang Thio Ciu, berbeda dengan Kongsi-kongsi Cina yang ada di wilayah Kesultanan Sambas yang seluruhnya adalah dari Suku Hakka / Khek).
Pada tahun 1778 , terjadi peninggkatan derajat kekuasaan di daerah Muara Sungai Landak dimana Syarif Abdurrahman Al Qadri yang tadinya Ketua dari Kampung Pontianak (terbentuk pada tahun 1771) yang terletak di Muara Sungai Landak kemudian pada tahun itu mengangkat dirinya menjadi Sultan pertama dari Kesultanan Pontianak.
Berdirinya Kesultanan Pontianak di Muara Sungai Landak ini kemudian menimbulkan protes keras dari Raja Kerajaan Landak karena secara historis wilayah muara Sungai Landak adalah merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Landak.
Namun VOC Belanda karena kepentingan ekonomi terhadap daerah muara Sungai Landak ini kemudian berdiri di belakang Kesultanan Pontianak sehingga membuat Raja Landak mengendurkan protes kerasnya.
Berkuasanya Sultan Syarif Abdurrahman di muara Sungai Landak sedikit banyak membuat Kongsi Lan Fong bergantung pada aktivitas di muara sungai itu.
Inilah salah satu yang kemudian membuat Lo Fong Pak lebih dekat kepada Sultan Pontianak dibandingkan kepada Panembahan Mempawah, padahal Kongsi Lan Fong saat itu masih dibawah naungan dari Panembahan Mempawah.
Pada tahun 1789, Sultan Pontianak dengan dukungan Belanda melakukan serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut wilayah Panembahan Mempawah.
Untuk mendukung serangan ini, Sultan Pontianak saat itu juga mengajak Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) untuk ikut serta dalan serangan kepada Panembahan Mempawah ini dan Kongsi Lan Fong kemudian juga mengirimkan pasukannya membantu pasukan Sultan Pontianak.
Menghadapi serangan ini, Panembahan Mempawah kalah yang kemudian Raja Panembahan Mempawah mengundurkan dirinya ke daerah Karangan dan kemudian menetap disana.
Sejak saat itu hubungan Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) dengan Sultan Pontianak menjadi semakin kuat dan dekat, sehingga kemudian Lo Fong Pak diberikan kewenangan yang lebih luas lagi (semacam daerah otonomi khusus) namun tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak. Peristiwa ini terjadi ketika usia Lo Fong Pak mencapai usia 57 tahun yaitu pada sekitar tahun 1793.
Salah Arti Kata “Republik” Lan Fang
Cara Pemilihan Ketua Kongsi Lan Fan saat itu menurut pemahaman zaman sekarang ini adalah sangat demokratis yaitu Ketua Kongsi dipilih melalui pemilihan umum oleh seluruh warga Kongsi.
Karena cara pemilihan ini sehingga oleh sebagian orang yang menterjemahkan tulisan Yap Siong Yoen (anak tiri dari Kapitan Kongsi Lan Fang yang terakhir) dan tulisan J.J. Groot (sejarawan Belanda) mengenai Kongsi Lan Fang, di interpretasikan terlalu jauh sehingga Kongsi Lan Fang diartikan adalah “Republik Lan Fang” padahal di dalam kedua-dua tulisan itu tidak ada kata Republik.
Disamping itu kata “Republik” adalah untuk sebutan bagi suatu negara / wilayah yang merdeka, sedangkan Kongsi Lan Fang walau mendapat status otonomi khusus namun tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak, sehingga bukan merupakan suatu negara merdeka.
Oleh karena itu apa yang disebut sebagai “Republik Lan Fang” itu tidak pernah ada, yang ada adalah Kongsi Lan Fang yang mendapat status otonomi khusus dari Sultan Pontianak.
Lo Fang Pak kemudian terpilih kembali melalui sistem pemilihan umum untuk menjabat sebagai Ketua Daerah Otonomi Kongsi Lan Fong, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin “Ta Tang Chung Chang” atau Kepala Daerah Otonomi. Peraturan Kongsi Lan Fong menyebutkan bahwa posisi Ketua dan Wakil Ketua Kongsi Lan Fong harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka.
Pusatnya tetap di Mandor dan Ta Tang Chung Chang (Ketua Kongsi) dipilih melalui pemilihan umum. Menurut aturannya, baik Ketua maupun Wakil Ketua Kongsi harus merupakan orang Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu.
Benderanya berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin “Lan Fang Ta Tong Chi”. Bendera Lo Fong Pak (Ketua Kongsi Lan Fong) berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan “Chuao” (Jenderal).
Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional bergaya Tionghoa, sementara pejabat yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Kongsi Lan Fong tersebut mencapai keberhasilan besar dalam ekonomi dan stabilitas keamanan selama 19 tahun kepemimpinan Lo Fang Pak.
Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri, yang setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu) untuk berdagang.
Sementara dalam catatan sejarah Kongsi Lan Fong sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada Dinasti Qing seperti Annan ( di Vietnam).
0 comments:
Post a Comment