Suku-suku asal Sulawesi seperti Mandar, Makassar, dan Bugis dikenal sebagai pelaut ulung. Kerap mereka, khususnya orang Bugis, disimbolkan dengan kapal pinisi megah mereka.
Hari ini, mereka tersebar di berbagai daerah, tak hanya di Indonesia, bahkan di Malaysia, Singapura, Thailand, Madagaskar, dan Afrika Selatan. Ketika saya berkeliling di Indonesia, ada banyak perkampungan yang dihuni masyarakat asal Sulawesi Selatan.
Biasanya perkampungan itu berada di pulau atau pesisir seperti Tanjung Binga di Belitung, Kampung Bugis di Bintan Kepulauan Riau, dan Riung di Flores. Keberadaan mereka bukan karena dirayu pemerintah seperti program transmigran zaman Orde Baru, melainkan merantau dengan pelayaran di masa lampau.
Masyarakat pelayaran Bugis, Makassar, dan Mandar diberkati oleh Selat Makassar yang membuat mereka menguasai jalur perdagangan. Hal inilah yang membuat beberapa kerajaan besar seperti Gowa dan Bone berjaya pada masanya. Di selat ini pulalah pernah berdiri kerajaan-kerajaan penting lainnya di masa yang lebih jauh seperti Kutai.
Ismail Ali, peneliti dari Faculty of Humanities, Arts and Heritage di University Malaysia Sabah menulis tentang kehidupan masyarakat laut di Selat Makassar dalam Proceedings of the 1st International Maritime Conference (1st IMC2014) October 21, 2014.
"Dibandingkan dengan pelaut Makassar dan Bugis, pelaut Mandar memiliki kedudukan atau posisi yang lebih strategis karena daerahnya terbentang luas di sepanjang sisi tenggara Selat Makassar," tulisnya. "Mereka bukan hanya mengawal perairan di sepanjang pantainya tetapi juga mengintegrasikan aktivitas perekonomian maritim dengan pemerintah di sepanjang pantainya."
Akan tetapi, masyarakat pelayaran dari suku-suku asal Sulawesi tidak hanya menjadi perantau, pedagang, dan nelayan saja, melainkan juga menjadi bajak laut. Sebenarnya, fenomena perompak sudah ada sangat lama sebelum kolonialisme Eropa.
Para bajak laut di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, paling banyak bertempat di Selat Malaka. Lokasi strategis jalur pelayaran mancanegara jadi sasaran empuk bajak laut. Mereka mengincar kapal-kapal perdagangan, terkadang juga merompak masyarakat yang ada di pesisir. Sampai saat ini, bajak laut masih bisa ditemukan di sekitar perairan itu.
Walau sebenarnya bajak laut sudah ada sebelum era kolonialisme, sejarawan beranggapan bahwa konflik kolonialisme yang membuatnya makin marak. Konflik seperti perang dan pengambilalihan kekuasaan, membuat penduduk terusir sehingga terpaksa bertindak kriminal demi kelangsungan hidup.
Alamsyah dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro bersama rekan-rekan dalam buku Migrasi, Diaspora, dan Bajak Laut Bugis menerangkan, "Aktivitas perompakan di Nusantara pada masa VOC semakin meningkat."
"Penyebab utamanya karena VOC secara berangsur-angsur menghancurkan kehidupan ekonomi penduduk pribumi khususnya para pedagang dan pelaut di kota pelabuhan Nusantara. Akibatnya, para pedagang, pelaut, dan penguasa pribumi di kota-kota pelabuhan, terutama di luar Jawa, mengalihkan mata pencariannya menjadi perompak atau bajak."
Bajak laut kerap merompak berbagai komoditas untuk dimasukkan ke pasar gelap. Dalam laporan sebelumnya, pasar gelap dan perompakan seperti inilah yang menjadi salah satu faktor VOC bangkrut. Akibatnya, VOC tidak pernah berhasil menumpas perompak komoditas mereka.
Tidak hanya komoditas rempah, bajak laut Bugis yang berkuasa di Laut Jawa dan Laut Flores juga menjaja budak. Linda Mbeki, asisten kurator Museums of South Africa bersama Matthias van Rossum dari Leiden University menjelaskan, bahwa orang-orang Bugis dan Cina kerap menjadi pelaku perdagangan budak dari Kepulauan Maluku.
Lilie Suratminto, peminat kajian bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Sosial Humaniora di Universitas Buddhi Dharma, Tangerang menjelaskan, bahwa bajak laut Bugis sering bersembunyi di pulau-pulau kecil Laut Jawa dan Laut Flores. "Kapal-kapal mereka sering kucing-kucingan dengan kapal VOC," kata Lilie. "Mereka biasa tinggal di Bawean dan pulau-pulau sekitarnya untuk menghindari jangkauan orang-orang VOC."
Mereka menjelaskannya dalam makalah berjudul Private slave trade in the Dutch Indian Ocean world: a study into the networks and backgrounds of the slavers and the enslaved in South Asia and South Africa tahun 2017 di jurnal Slavery & Abolition. Banyak budak diperdagangkan di Makassar, sebagai pasar budak terbesar selain Batavia seperti yang dialami Untung Surapati.
"Orang-orang Bugis tertentu pernah menyandang reputasi sebagai bajak laut yang ditakuti," tulis Alamsyah dan rekan-rekan. "Reputasi itu masa kini dianggap sebagai suatu kebanggaan yang diekspresikan oleh para sejarawan, novelis maupun penulis kisah petualangan."
0 comments:
Post a Comment