About

Saturday, July 23, 2022

Pengobatan Kuno Reduksi Darah yang Tak Jarang Membunuh Pasiennya


Selama ribuan tahun, para praktisi medis berpegang teguh pada keyakinan bahwa penyakit hanyalah akibat dari adanya sedikit "darah yang buruk". Darah yang dapat mendatangkan penyakit.

"Pertumpahan darah atau reduksi darah, diperkirakan dimulai sejak zaman bangsa Sumeria dan Mesir kuno," tulis Evan Andrews kepada History dalam artikel berjudul "7 Unusual Ancient Medical Techniques: Bloodletting" yang dipublikasikan pada 25 Maret 2014.

Apabila orang Mesir Kuno menderita migrain atau orang Sumeria Kuno mengalami demam, kemungkinan besar dokter akan mencoba satu pengobatan, mereduksi darah yang dianggapnya buruk karena kelebihan darah.

Dianggap sebagai salah satu praktik pengobatan tertua, pertumpahan darah atau pengobatan reduksi darah diperkirakan berasal dari Mesir kuno, kemudian menyebar ke Yunani Kuno, ketika dokter seperti Erasistratus, yang hidup pada abad ketiga SM, percaya bahwa semua penyakit berasal dari darah yang berlebihan.

Dokter berpengaruh seperti Hippocrates dan Galen menyatakan bahwa tubuh manusia dipenuhi dengan empat zat dasar—empedu kuning, empedu hitam, dahak, dan darah, sehingga perlu dijaga keseimbangannya untuk menjaga kesehatan tubuh.

Dengan pemikiran ini, pasien dengan demam atau penyakit lain sering didiagnosis dengan kelebihan darah.

"Sang dokter akan membuka pembuluh darah dengan lanset atau potongan kayu yang diasah, menyebabkan darah mengalir keluar dan masuk ke wadah yang telah disediakan," tulis Jennie Cohen kepada History.

Cohen menulis kepada History dalam artikelnya berjudul "A Brief History of Bloodletting" yang diterbitkan pada 30 Mei 2012, dan diperbaharui pada 29 Agustus 2018.

Untuk mengembalikan keharmonisan dan keseimbangan dalam tubuh, dokter-dokter kuno akan memotong pembuluh darah dan mengalirkan beberapa cairan vital mereka ke dalam wadah.

Praktisi biasanya merobek pembuluh darah atau arteri di lengan bawah atau leher, kadang-kadang menggunakan alat khusus yang menampilkan bilah tetap dan dikenal sebagai fleam.

"Dalam beberapa kasus, lintah bahkan digunakan untuk menyedot darah langsung dari kulit," sebutnya.

Proses mengeluarkan darah bertahan sebagai praktik medis umum hingga abad ke-19, ketika ilmu kedokteran kontemporer telah memengaruhi daratan Eropa.

Meskipun menjadi hal yang lumrah, praktik pengobatan reduksi darah ini juga dapat dengan mudah mengakibatkan kematian pasiennya karena kehilangan darah. Yang paling populer adalah kisah kematian George Washington.

Mantan presiden itu jatuh sakit, menderita demam dan sakit tenggorokan, serta sulit bernapas. Dokter segera bertindak, mengetahui bahwa dia harus mengeluarkan infeksi dari tubuh Washington secepat mungkin.

"Selama 10 jam berikutnya, tidak kurang dari 3,75 liter darah dikeluarkan dari tubuh Washington, dalam jumlah berkisar antara 12 hingga 18 ons sekaligus," tulis Katie Serena.

Serena menulisnya kepada All Thats Interesting dalam artikel yang berjudul "The Gross History Of Bloodletting And Medicine By Leeches" yang dipublikasi pada 18 September 2021.

Sebagai referensi, rata-rata manusia memiliki antara 4,7 dan 5,5 liter darah. Itu berarti bahwa lebih dari setengah dari semua darah di tubuh Washington telah dikeluarkan untuk kepentingan penyembuhan. Hingga Washington wafat diduga karena kehabisan darah.

Para pasien yang mengalami perobekan dibagian kulitnya, bisa saja mengeluarkan darah yang tidak terkontrol hingga menyebabkannya kekurangan darah, dan yang terburuk adalah kematian.

"Praktik ini akhirnya tidak lagi populer setelah penelitian medis terbaru menunjukkan bahwa itu mungkin lebih berbahaya daripada praktik lain yang dapat menyembuhkan sakit dengan tanpa membahayakan pasiennya," sambung Andrews.

Meski sudah jarang ditemui praktik reduksi darah di era modern ini, tetapi praktik pengobatan lintah dan reduksi darah yang lebih terkontrol masih digunakan sampai sekarang, sebagai pengobatan untuk penyakit langka tertentu.

0 comments:

Post a Comment