Pengurbanan manusia dipraktikkan di banyak kebudayaan kuno. Di Tiongkok dan Mesir, makam para penguasa disertai dengan lubang-lubang yang berisi ratusan jasad manusia. Jasad ini adalah para korban yang dipercaya dapat memberikan pertolongan di akhirat.
Jasad yang disembelih secara ritual ditemukan terkubur di sebelah cincin cawan lebur, kuali kuningan dan patung kayu di Eropa dan Kepulauan Inggris. Penjelajah dan misionaris awal mendokumentasikan pentingnya persembahan manusia dalam budaya Austronesia.
Di Amerika Tengah, bangsa Maya dan Aztec kuno mengekstraksi detak jantung para korban di altar kuil.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa sesuatu yang mengerikan seperti pengurbanan manusia bisa begitu umum di masa lampau?
Mungkinkah pengurbanan manusia telah melayani beberapa fungsi sosial. Atau ini benar-benar menguntungkan setidaknya beberapa anggota masyarakat?
Apakah pengurbanan manusia dilakukan untuk kontrol sosial?
Menurut satu teori, pengurbanan manusia benar-benar berfungsi dalam masyarakat kuno. Hipotesis kontrol sosial menunjukkan pengurbanan manusia digunakan oleh elit sosial untuk meneror kelas bawah. Ini menjadi cara untuk menghukum pembangkangan dan menunjukkan otoritas. Pada akhirnya, pengurbanan manusia berfungsi untuk membangun dan memelihara sistem kelas dalam masyarakat.
Joseph Watts dari Universitas Auckland menguji apakah hipotesis kontrol sosial ini benar, khususnya di antara budaya-budaya di sekitar Pasifik.
Watts dan rekannya mengumpulkan informasi tentang 93 budaya tradisional Austronesia. Dengan menggunakan metode dari biologi evolusioner, mereka menguji bagaimana pengurbanan manusia memengaruhi evolusi sistem kelas sosial manusia prasejarah.
Nenek moyang bangsa Austronesia adalah penjelajah laut yang hebat. Mereka berasal dari Taiwan dan bermigrasi ke barat hingga Madagaskar, timur hingga Pulau Paskah, dan selatan hingga Selandia Baru. Ini adalah wilayah yang mencakup lebih dari setengah garis bujur dunia.
Budaya-budaya ini terdiri dari komunitas kecil, egaliter, berbasis keluarga. Namun ada juga yang kompleks dengan keluarga kerajaan, budak, dan ratusan ribu orang.
“Pengurbanan manusia dilakukan di 43% budaya yang kami pelajari,” ungkap Watts. Peristiwa yang menuntut pengurbanan manusia termasuk kematian kepala suku, pembangunan rumah dan kano, persiapan perang. Juga wabah epidemi dan pelanggaran tabu sosial utama.
Bagaimana pengurbanan manusia dilakukan? Wats menuturkan, “Ini bisa terjadi dalam beragam bentuk.” Termasuk pencekikan, pemukulan, pembakaran, penguburan, penenggelaman, dihancurkan di bawah sampan yang baru dibangun. Sebagian korban bahkan digulingkan dari atap dan kemudian dipenggal.
Di Austronesia, pengurbanan manusia adalah hal yang biasa dalam budaya dengan sistem kelas yang ketat. Namun langka dalam budaya egaliter. Ini adalah korelasi yang menarik, tapi tidak memberi tahu informasi apakah pengurbanan manusia berfungsi untuk membangun sistem kelas sosial. Atau sebaliknya, apakah sistem kelas sosial menyebabkan pengurbanan manusia.
Dimanfaatkan oleh para elit
“Kami merekonstruksi prasejarah Austronesia dan menguji bagaimana pengurbanan manusia serta struktur sosial berevolusi,” jelas Watts.
Rekonstruksi ini dapat menguji apakah pengurbanan manusia terkait dengan sistem kelas sosial. Selain itu juga mendapatkan arah kausalitas berdasarkan apakah pengurbanan manusia cenderung muncul sebelum atau sesudah sistem kelas sosial.
Hasil penelitian Watts menunjukkan bahwa pengurbanan manusia cenderung mendahului sistem kelas yang ketat dan membantu membangunnya. Terlebih lagi, pengurbanan manusia membuat budaya sulit untuk menjadi egaliter lagi.
Ini memberikan dukungan kuat untuk hipotesis kontrol sosial pengurbanan manusia.
Di Austronesia, korban kurban manusia seringkali berstatus lebih rendah, seperti budak. Sedangkan pelakunya berstatus tinggi, seperti kepala suku atau pendeta. Ada banyak tumpang tindih antara sistem agama dan politik. “Dalam banyak kasus para kepala suku dan raja sendiri diyakini sebagai keturunan para dewa,” Watts menuturkan.
Dengan demikian, sistem agama menyukai elit sosial, dan mereka yang menyinggung mereka memiliki kebiasaan menjadi korban manusia. Bahkan ketika tabu yang dilanggar secara ketat membutuhkan pengurbanan manusia, ada fleksibilitas dalam sistem dan hukuman tidak seimbang.
Misalnya, di Hawaii, seseorang yang melanggar tabu utama dapat menggantikan kehidupan seorang budak dengan kehidupan mereka sendiri. Ini dapat dilakukan asalkan mereka mampu membeli seorang budak.
Pengurbanan manusia bisa menjadi sarana kontrol sosial yang sangat efektif karena memberikan pembenaran supernatural untuk hukuman. Ini juga berfungsi ‘pengingat’ bagi orang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, pengurbanan manusia menunjukkan kekuatan tertinggi para elit.
Tumpang tindih antara sistem agama dan sekuler dalam kebudayaan kuno berarti bahwa agama rentan untuk dieksploitasi oleh penguasa. “Penggunaan pengurbanan manusia sebagai alat kontrol sosial memberikan gambaran mengerikan tentang seberapa jauh hal ini bisa terjadi,” Watts menambahkan.
0 comments:
Post a Comment