Pernahkah Anda merasakan deja vu? Kata deja vu sendiri berasal dari bahasa Prancis yang artinya “pernah merasa atau melihat”.
Istilah deja vu ini diciptakan pada tahun 1876 oleh filsuf Perancis Emile Boirac untuk menggambarkan perasaan kuat bahwa pengalaman yang Anda alami sekarang sudah pernah dialami di masa lalu.
Menurut How Stuff Works, 70 persen populasi manusia pernah mengalami hal ini dan yang paling sering berada dalam rentang usia 15-25 tahun. Walaupun bukan hal yang asing, namun tidak banyak orang yang mampu menjelaskan apa itu deja vu, bahkan para peneliti pun masuh terus mengembangkan teori-teori yang ada.
Pada tahun 2006, beberapa ilmuwan di Leeds Memory Group mengatakan bahwa mereka berhasil menciptakan sensasi serupa di laboratorium. Mereka menggunakan pendekatan hipnosis untuk memicu bagian dari proses pengenalan otak.
Dasar teori yang dipakai adalah dua proses penting terjadi di dalam otak ketika manusia mencoba mengenali sesuatu yang sudah familiar.
Sebagai proses awal, otak akan berusaha mencari "file lama" di dalam ingatan untuk melihat apakah kita pernah merasakan kejadian tersebut, kemudian jika otak menemukan ingatan yang sesuai, sebuah area terpisah dari otak akan mengindentifikasinya sebagai sesuatu yang familiar. Dalam deja vu, bagian kedua dari proses ini bisa dipicu secara tak sengaja.
Untuk mengetahui hal ini, para peneliti merekrut 18 peserta untuk melihat 24 kata umum. Para peserta kemudia dihipnosis untuk menganggap bahwa kata-kata yang berada di dalam bingkai merah adalah kata-kata yang familiar, dan kata-kata dalam bingkai hijau tak ada dalam daftar.
Setelah dihipnosis, para peserta diberi rangkaian kata dalam bingkai warna berbeda, termasuk yang tak ada dalam daftar. Dari semua peserta, 10 orang berkata bahwa mereka merasakan sensasi aneh saat melihat kata baru dalam bingkai merah. Lima orang di antaranya bahkan menyebut perasaan itu seperti deja vu.
Dengan kata lain, ini melompati mekanisme yang biasanya digunakan otak untuk menyimpan informasi. Jadi, rasanya kita mengalami sesuatu dari masa lalu.
Seorang psikolog, pakar kenangan palsu, Valerie F. Reyna angkat bicara mengenai deja vu. Menurut Reyna, deja vu adalah perasaan yang diawali oleh kenangan palsu. "(Deja vu) pasti terkait dengan memori palsu, dalam arti bahwa ini adalah jenis disasosiasi memori, yang membedakan realitas dari ingatan Anda," ungkap Reyna dikutip dari Science Alert, Rabu (25/7/2018).
"Ada berbagai macam pengalaman disasosiatif yang bisa terjadi. Terkadang Anda tidak dapat memastikannya, misalnya apakah Anda memimpikan sesuatu atau mengalaminya, apakah Anda melihatnya di film atau terjadi dalam kehidupan nyata," tambahnya.
Gangguan memori
Selain penjelasan di atas, para ilmuwan juga pernah menjelaskan apakah deja vu merupakan gangguan sirkuit memori jangka panjang dan memori jangka pendek di otak. Artinya informasi baru dapat mengambil jalan pintas langsung ke ingatan jangka panjang.
Penelitian terkait memori ini dilakukan oleh Akira O’Connor dan rekan-rekannya di University of St Andrews, Inggris. O'Connor berhasil mengetahui apa yang terjadi pada otak selama deja vu.
Untuk mengetahui hal itu, O'Connor mengamati otak dari 21 peserta. Para peserta diminta melakukan serangkaian tes umum untuk memicu kenangan palsu.
Para peneliti memberi peserta daftar kata-kata terkait, seperti kasur, malam, tidur sebentar, dan tidur siang. Ketika para peserta ditanya tentang kata sesudahnya, mereka cenderung memberi kata-kata yang terkait dengan apa yang pernah mereka dengar, dalam hal ini tidur.
Untuk mencoba menciptakan perasaan deja vu, para peneliti bertanya pada peserta apakah mereka mengetahui kata yang di awali huruf t. Para peserta menjawab tidak tahu.
Namun ketika para peneliti bertanya tentang kata tidur, peserta ingat bahwa mereka mungkin pernah mendengarnya, tapi rasanya sama semua.
Dalam penelitiannya, O’Connor dan tim berusaha untuk menciptakan sensasi deja vu pada partisipan dengan cara menanamkan memori palsu. Tim kemudian memindai otak partisipan yang mengalami deja vu tersebut menggunakan fMRI.
Awalnya, para ilmuwan mengira bahwa area otak yang terlibat dengan pengelolaan memori, seperti hipokampus, akan aktif selama fenomena ini, namun ternyata tidak demikian. Tim justru menemukan lobus frontal, area otak yang terlibat dalam pengambil keputusan menjadi lebih aktif.
Oleh karena itu, O'Connor berpikir bahwa daerah frontal otak bisa membalik-balik ingatan kita. Area tersebut mengirimkan sinyal jika ada ketidakcocokan antara apa yang kita pikir telah dialami dengan apa yang sebenarnya.
Temuan ini kemudian dipresentasikan dalam Konferensi Memori Internasional di Budapest.
"Daerah otak yang terkait dengan konflik memori, bukan memori palsu, tampaknya mendorong pengalaman deja vu," tulis O'Connor.
Penemuan ini juga menunjukkan bahwa deja vu merupakan tanda bahwa sistem pengecek memori pada otak bekerja dengan baik. Hal tersebut cocok dengan apa yang disebut efek usia pada memori, sebab deja vu lebih umum terjadi pada orang-orang berusia muda dan jarang terjadi pada orang berusia tua, karena memori mulai mengalami penurunan.
Penelitian O'Connor dan tim seakan mematahkan hasil penelitian ilmuwan di Leeds Memory Group yang mengatakan bahwa deja vu terjadi akibat adanya "kesalahan" memori.
Deja vu juga bisa dikaitkan dengan korteks rhinal, yaitu area otak yang membuat kita merasa akrab. Sayangnya, belum diketahui bagaimana mengaktifkan area ini tanpa memicu area lain terkait memori. Itulah mengapa sangat sulit untuk menentukan apa yang terasa akrab dengan deja vu. Sebab, rasa akrab itu biasanya samar, tidak spesifik pada obyek atau orang.